#14 : Lepas Kendali

16.3K 543 56
                                    

Baguslah.

Itu yang aku katakan pada Dad ketika mendengar dia tidak jadi menikah atau bertunangan. "Itu membuktikan dia tidak bisa menerima Dad apa adanya. Gina nggak suka orang macam dia, Dad. Lagian sekarang sudah ada Gina. Dad nggak akan kesepian lagi di rumah, jadi Dad jangan sedih ya." Aku sendiri tak percaya telah mengucapkan kalimat ini. Namun yang kutahu, kalimat ini adalah kalimat terjujur yang muncul di dalam hatiku. Aku memang bersyukur Dad tidak jadi menikah. Itu faktanya.

"Iya sayang," balas Dad. "Kamu tidak akan meninggalkan Dad seperti Ibumu, kan?"

Kuusap rambut hitamnya. "Tidak akan pernah, Dad."

"That's my girl. Gimana keadaan kamu sayang? Katanya habis kecelakaan juga?"

"Cuma kecelakaan kecil. Karen terlalu berlebihan menyampaikannya. Aku baik-baik saja, Dad."

"Kalau gitu syukurlah. Kamu harus hati-hati ya, jangan buat Dad khawatir lagi."

Aku mengangguk. "Sebagai gantinya Dad juga harus hati-hati."

Karen menghampiriku kemudian menanyakan bagaimana keadaan Dad. Dad menjawab sekenanya. Beberapa detik kemudian dokter datang untuk memeriksa. Syukurlah Dad baik-baik saja. Jika sesuatu terjadi padanya, aku sangsi akan memaafkan diriku sendiri.

"Kamu mau pulang?" tanyaku pada Karen.

Dia mengangguk kemudian berkata, "Ada hal yang perlu aku urus."

"Kalau begitu baiklah."

"Ngomong-ngomong Gina, bolehkah aku ikut kegiatan pencinta alam? Hari ini mereka akan camp di gunung."

Aku tersenyum lebar. "Tentu saja kamu harus ikut. Aku akan marah jika kamu menahan diri di sini hanya karena aku. Salam buat Johan, Dave, Kate dan JJ ya. Katakan pada mereka maaf aku nggak bisa ikut karena Dad habis kecelakaan." Karen mengacungkan jempolnya kemudian pergi. Sepeninggal dirinya, aku pergi supermarket untuk membeli buah-buahan. Dad suka buah apa ya? Apel? Aku beli dalam bentuk parsel saja.

"Dari mana saja, sayang?" Aku senang karena Dad mulai memanggilku dengan kata sayang bukan Gina seperti yang selalu dia lakukan sebelumnya.

"Habis beli buah-buahan. Bentar aku kupas dulu ya. Dad mau apa? Apel? Pisang? Atau salak?"

"Masa orang sakit di kasih snake fruit. Apel saja."

"Siap, Dad!"

"Itu beli pakai uang kamu?"

"Iya, Dad."

"Nanti Dad ganti."

Aku memandangnya tajam. "Nggak usah! Aku marah lho."

"Hehe iya sayang."

Boleh tidak aku juga memanggilmu sayang, Dad?

Sembari mengupas apel, kami membicarakan film kesukaan kami. Aku tidak menyangka kalau Dad fans berat film sci-fi. Maksudku, kukira dia akan menyukai film membosankan yang berhubungan dengan aksi, ternyata dia suka genre serius seputar teknologi sains atau time traveler.

"Kalau kamu suka film apa sayang?"

"Aku suka seri teve Teen Wolf atau Game of Thrones."

"Game of Thrones? Dad juga suka. Itu film famous banget ya."

"Iya, Dad. Plot twist-bya nggak ketebak. Raja yang aku kira bakal bertahan eh malah meninggal," sahutku. "Nih apelnya," lanjutku.

"Makasih sayang."

"Gina, Dad mau pulang sekarang."

Mataku menyipit. "Dad tahu kan habis operasi?"

"Di rumah saja masa penyembuhannya. Anu ... ummm ... Dad nggak suka rumah sakit. Bau obat ada di mana-mana, itu bikin Dad pusing." Mendengarnya aku tertawa sedikit keras. "Kamu ya, malah ketawa! Dad serius nih."

DadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang