#17 : Run!

9.9K 484 38
                                    

Ternyata Dad menggusurku ke kamar. Dia mengempaskan tubuhku lalu mengunci pintu, mungkin supaya aku tidak mencoba kabur seperti yang kulakukan barusan. Dia menatapku bengis. Ada juga campuran perasaan kecewa dan sedih.

"Kamu," katanya sembari menahan emosi, "kamu menyakiti hati Dad Gina!" Napasnya terengah-engah sambil menatapku. "Mau ke mana kamu tadi hah!? Jangan aneh-aneh! Kamu ada dalam pengawasan Dad sekarang!"

Tatapan itu adalah tatapan menghakimi. Tatapan hakim yang menyatakan aku bersalah. Atas perasaanku. Atas tindakanku. Dan, Dad menunjukkan tatapan itu padaku. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Yang jelas, air mataku menjelaskan semuanya. Air mataku adalah jelmaan perasaanku yang sesungguhnya. Aku tidak kuat, aku tidak mampu. Kuambil selimut lalu kututupi semua tubuhku. Dad semakin marah. Ah, aku tidak peduli. Aku hanya tak ingin melihat tatapan itu.

"Gina! Dad lagi ngomong sama kamu!"

Tanganku erat memegang selimut. Dad beberapa kali mencoba menyingkirkan selimut yang membungkus tubuhku, namun gagal karena aku mencengkeramnya sangat kuat. Selama 3 menit yang menegangkan itu, akhirnya Dad pergi. Saat kucoba untuk membuka pintu kamarku, ternyata terkunci.

Gempita petir saling bersahutan. Aku merasa takut namun di saat yang bersamaan aku merasa tenang. Petir dan hujan yang menggelegar memekakkan telinga itu seakan ikut merasakan kesedihanku lalu ikut menangis dan berteriak bersamaku.

Di atas kasur aku bertafakur. Apa yang harus aku lakukan? Hubunganku dengan Dad tak akan lagi sama. Karen, Johan dan teman-temanku yang lain pun ikut menjauhiku. Ataukah aku yang menjaga jarak dari mereka? Aku ingin pulang ke buaian tangan lembut Ibuku. Dia tidak pernah berteriak padaku, bahkan memukulku. Dia menyayangiku sebagai seorang Ibu. Peka terhadap masalah anaknya, bahkan kerap memberilan solusi yang tidak menghakimi. Berjam-jam aku berpikir dan berpikir. Dari puluhan bahkan ratusan hal yang kupikirkan, hanya satu hal yang kuyakini sekarang, di sini ... bukan tempatku.

Betapa bodohnya aku membiarkan perasaan ini terus berkembang. Seharusnya, sesaat setelah aku menyadari perasaanku pada Dad, aku langsung pergi dari kehidupannya. Tinggal bersamanya adalah tindakan bodoh. Itu sebabnya, aku harus pergi. Apa pun caranya.

Telingaku mendengar suara pintu terbuka. Tatapanku nanar terarah ke depan. Aku merasa ada orang yang memanggilku. Dad? Aku tak peduli lagi. "Gina, kamu makan ya?" Aku teringat saat aku kecil, Dad pernah membelikan permen padaku. Saat itu aku senang sekali. Aku bahkan menceritakannya pada teman-temanku di sekolah. "Gina! Jangan buat Dad semakin kecewa sama kamu!"

Dad adalah pahlawan. Dulu, saat dia menyuruhku supaya aku pintar di kelas, entah dari mana kekuatan itu muncul, yang jelas kerap aku menjadi siswi terbaik di semua mata pelajaran. Dad memujiku dan berkata aku anak yang baik dan pintar. Dia menyayangiku sebagaimana aku menyayanginya. Namun sekarang, masih adakah perasaan itu?

"Kita bicarakan besok pagi, kamu harus makan, habis itu tidur, Dad mohon." Sekarang aku mendengar pintu dikunci. Nyatanya, aku tidak bisa tidur padahal hujan pun beberapa jam yang lalu lelah menangis. Satu-satunya cara aku mengeyahkan perasaan ini adalah dengan membenci Dad. Nahasnya, meski aku sudah melihat dengan kepalaku sendiri tatapan menusuk Dad dan sikapnya kepadaku tadi, aku tidak membencinya.

Semakin kupikirkan jawabannya semakin membingungkan. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang padahal jawabannya sederhana. Jika aku bingung bagaimana harus bersikap, aku hanya perlu pergi dari posisi yang membingungkan ini dengan cara pergi dari rumah ini. Sesimpel itu. Aku akan pergi di saat Dad pergi ke kampus. Lagi-lagi, nahasnya, Dad tidak pergi ke kampus. Dia sepertinya benar-benar ingin meluruskan masalah yang kubuat.

"Kamu belum makan dari kemarin sore, Gina!"

Ya, aku belum menyentuh makananku. Sebenarnya lapar namun aku tidak selera makan.

"Tinggalkan aku sendiri," kataku dingin.

"Gina kamu harus makan, oke?"

"Dad aku ingin bubur," kataku. "Tolong buatkan." Dad menghela napas panjang kemudian pergi ke dapur. Kukira rencana ini tidak akan berhasil. Ya, Dad berpikir aku benar-benar ingin makan sehingga dia membiarkan pintu kamarku terbuka. Saat itulah aku sigap bangkit kemudian berjalan mengendap-ngendap ke luar.

"GINA KAMU MAU KE MANA!?" Sial ketahuan! Dapur dan ruang tengah memang saling berhadapan. Tanpa pikir panjang, aku langsung menggerakkan kakiku ke luar. Aku lari tunggang-langgang ke jalan raya. Awalnya aku akan lari ke hutan, namun pengalamanku kemarin cukup mengurungkan niatku. Dad pasti bisa mengejar jadi kuputuskan mencari peruntungan dengan mengharapkan mobil lewat sehingga aku bisa naik ke dalamnya. "GINA BERHENTI! DAD BILANG BERHENTI! GINA!!!"

"I hate you, Dad!" pekikku.

"KEMBALI!!!" teriak Dad.

RUN RUN RUN!

Yang kupikirkan hanya lari, lari dan lari sekuat mungkin. Tak kupedulikan kakiku yang terasa sakit karena menginjak kerikil bahkan batu. Aku hanya ingin pergi dan kembali ke kehidupanku yang dulu. Ya, hanya itu.

"Gina plese, go back! Please! Don't go, Gina!"

Aku tidak tahu bagaimana perasaannya. Bukan berarti aku tidak mau mengerti, namun apakah Dad juga mau mengerti bagaimana perasaanku? Yang dia lakukan hanya menghakimi. Jadi buat apa aku mencoba mengerti perasaannya? Dad hanya dosen yang sudah bertahun-tahun hidup sendiri!

RUN RUN RUN!

Aku lari terbirit-birit. Napasku rasanya sesak. Di saat aku merasa mual dan pusing, dari arah berlawanan akhirnya aku menemukan mobil. Impuls aku diam di tengah jalan. Mobil itu sontak berhenti. "Open, please! His kidnap me!" ucapku  sambil menunjuk Dad yang tengah berlari ke arahku dengan wajah menakutkan. "Open, please!" Betapa beruntungnya aku ketika kaca mobil terbuka, pria yang sedang menyetir mobil adalah ... Rick Teddy.

Aku terselamatkan.

DadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang