#22 : I Thought

10.1K 514 27
                                    

Hi saya kenalkan say Flo. Hihi. Salam kenal.

Ini nama saya yang sebenarnya. And, syukurlah saya udah nggak sibuk jadi bisa menamatkan cerita ini dengan segera. Semoga suka ya.

Daddy.

Dia mengangkat teleponku. Kutanya lagi, "Daddy marah?" Helaan napasnya langsung terdengar. Berat dan juga lelah.

"Ada apa, Gina? Dad mau tidur," katanya.

"Jawab dulu, are you mad, Dad?"

"Of course. Kamu lebih memilih dia daripada Ayah kandungmu sendiri."

"Kalau begitu kutarik kata-kataku, Dad. Aku ingin tinggal sama Dad, kuliah di sana dan memperbaiki semuanya. Dad mau kan?" Hening. Kukira Dad akan dengan mudahnya menjawab, benarkah? Dad senang sekali mendengarnya. Namun kenapa Dad malah diam saja? "Apakah Dad tidak senang aku kembali?" tanyaku lagi.

"Dad senang. Cuma masalahnya, setelah Dad pikir berulang kali, sebaiknya kamu tinggal di sana. Alex benar, jika kamu tinggal sama Dad, kamu akan tumbuh menjadi wanita yang ...," ucapnya menggantung. Aku mengeratkan pegangan di gagang teleponku.

"Dad pikir aku akan jadi wanita jalang yang tidak berguna?"

"Bukan begitu, Dad cuma takut tidak bisa mendidikmu menjadi anak yang baik."

"Kalau begitu jangan, cukuplah Dad mendidikku sebagai istri yang ... Dad? Dad?" Dad menutup teleponnya.

Gawat, aku terlalu frontal. Aku terkikik pelan. Sudah kuputuskan tidak ada air mata lagi. Jika aku ingin meraih sesuatu, maka aku harus meraihnya dengan tanganku sendiri. Itulah jalan hidup yang selalu aku lakoni setiap hari.

Tunggu, Dad.

***

Meski aku mengucapkannya dengan mudah, nyatanya untuk kembali tinggal di Fork sangatlah susah sekali. Meski aku dan Mom sudah memaksa, Alex tetap kukuh meralangku kembali ke sana.

"Apapun alasanmu, saya tetap melarangmu pergi ke sana Gina." Alex dengan santainya duduk di meja makan sambil membaca majalah. Dia menatapku sebentar kemudian mendengus. "Lihat tubuhmu. Kurus, menyedihkan," ucapnya sarkas.

Aku marah. Tapi dengan mengeluarkan semua emosiku tidak akan membuat Alex berubah pikirannya. Maka dari itu, meski entah kenapa terasa berat, aku menarik napas dalam kemudian berkata, "Dad, Gina mohon." Alex bergeming. Mungkin dia tidak percaya aku memanggilnya dengan sebutan dad karena sejak pertama kali kita bertemu aku tidak pernah memanggilnya seperti itu.

"Te-tetap, saya menolak."

"Ayolah, Dad. Ya? Teman-temanku ada di sana. Aku tidak mau membiasakan diri dengan mencari teman baru di kampus baruku. Aku janji akan menjadi anak yang penurut mulai dari sekarang. Atau Dad mau kopi? Sebentar aku buatkan." Aku beranjak dari ruang makan ke dapur untuk membuatkan kopi hitam kesukaannya. Gulanya berapa sendok ya? Satu sendok? 5 sendok? Atau 10 sendok? Kurasa 15. "Silakan diminum, Dad." Saat dia meminumnya, Alex langsung terbatuk-batuk. "Gimana enak?"

"Terlalu manis, Gina." Aku panik. Aku berlari ke dapur kemudian membuatkannya lagi. Kurasa gulanya harus 10 sendok. "Silakan, Dad. Aku yakin kopi ini rasanya enak se—"

"Uhuk uhuk. Masih terlalu manis."

Mom menepuk bahuku. "Alex suka menambahkan gula 1 sendok teh, Gina. Ingat baik-baik, oke?" Aku mengangguk. Lagi, aku membuatkan kopi untuk kemudian kuberikan pada Alex. Akhirnya kopiku dia minum juga. Alex tidak berkata apa-apa selain menatapku lekat.

"Dad, Gina mohon." Aku memelas sedalam mungkin.

"Tetap tidak bisa Gina," katanya. "Kecuali ...," ucapnya menggantung. Mataku sontak berbinar menunggu kelanjutannya. "Setelah lulus nanti kamu harus tinggal di sini dan jadilah anak yang baik. Setuju?"

"Setuju, Dad!"

Impuls, kakiku bergerak menuju kamar. Aku langsung mengemasi barang-barangku ke dalam koper. Mom membantuku sambil memberiku petuah aku harus jadi anak penurut yang membanggakan. Permintaan tersulit karena aku tidak tahu harus membanggakan dalam hal apa. Tetapi jika dalam hal nilai pelajaran kurasa aku bisa mewujudkannya.

"Kapan serius mau pergi sekarang?" tanya Mom.

"Tentu, Mom. Teman-temanku telah menunggu."

"Dari mana kamu mengetahui kalau teman-temanmu sedang menunggumu? Bukankah ponselmu ada di tangan Alex ya?" Benar juga!

"Ka-kalau itu, semalam aku menelepon Karen lewat telepon rumah." Syukurlah aku menemukan alasan logis untuk menjawabnya. "Mom, tolong ambil ponselku di tanga  Alex ya."

"Oke."

Sekembalinya Mom, Alex ikut bersamanya untuk membantuku mengemasi barang-barang. "Mau naik kereta atau mobil?"

"Mobil, Dad."

"Kalau begitu tertarik bawa mobil sendiri?" tanyanya membuat terhenyak karena kaget.

"Are you serious?"

"Why not? I will give you my car if you want." Aku langsung menghambur memeluk Alex. Aku tidak pernah menyangka pria yang selama ini kuanggap menyebalkan ternyata begitu baik jika aku baik kepadanya.

"Thanks, Dad! Oh my God, i can't believe this! Oh thanks!"

"Apa pun untuk anakku, Gina. Tapi ingat ini baik-baik. Jika Dad mendengar kamu berbuat aneh-aneh di sana, akan Dad bawa kamu ke sini dan kamu harus kuliah di kota ini mengerti?" Aku mengangguk.

Aku pun pergi. Melaju menuju kota dingin yang anginnya terkadang membuat tubuhku relaks. Kota pinggiran dengan sejuta pohon yang sangat indah. Di kota itu banyak hal yang ingin kulakukan sekarang. Misalnya, pergi ke water fall sama Dad di hari libur. Kurasa akan sangat mengasyikkan. Atau pergi ke pantai juga di malam hari pasti akan membuat hatiku melompat kegirangan.

'Karen, datang ke rumahku. Ada banyak hal yang ingin kuceritakan padamu. Dan juga ... maaf. Aku mengabaikanmu, mengabaikan kalian. Kuharap kita masih bersahabat.' Isi pesanku pada Karen. Dia tidak serta-merta membalas. Saat aku sampai di depan rumah Dad, baru dia membalasnya.

'Oke.'

Singkat.

Well, memangnya apa yang kuharapkan? Dia membalas chat-ku denga rentetan kalimat panjang seperti yang kutulis barusan?

Tidak.

Kupikir, aku lebih menginginkan Dad kembali menerimaku untuk tinggal di rumahnya.

Hanya itu. Keinginan sesimpel itu.

Saat aku membuka pintu mobil, Dad membuka pintu rumahnya. Dia memandangku kikuk sembari menggelengkan wajah. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya sinis. "Pergi, Gina. Tempatmu bukan di sini."

Jika Dad berpikir aku akan sedih lalu menangis setelah mendengar kalimat sinisnya, dia salah. Lagi, karena kupikir, inilah tempatku. Tempat tubuhku tidur, tempat ragaku beristirahat dan tempat ... hatiku pulang. Ya inilah rumah dari jiwa dan ragaku. Apa pun yang Dad katakan, aku akan masuk ke sana. Membuat teh hangat, meminumnya, lalu membuat cheese cake seperti yang selalu kulakukan sebelumnya.

Aku tahu aku tidak pantas berpikir seperti ini, tapi, lagi dan lagi, kupikir aku akan mencoba membuat Dad bertekuk lutut di hadapanku.

Tu-tungtu ... Dad? Tidak, melainkan Dawson. Daddy-ku hanya Alex. Kenyataannya telah berubah. And i thought, I like this reality.

"Dad, persiapkan dirimu."

"Untuk apa?"

"Untuk hidup kita."

DadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang