Part 29

8.7K 590 51
                                    

Happy reading all..

*****

Golbert mengacak rambutnya frustasi di ruang kerjanya. Beberapa menit yang lalu dia meeting dengan para pemegang saham. Siapa sangka dari 50 orang, hanya 5 orang yang masih bertahan. Sisanya memilih mengambil saham mereka dan membatalkan kerja sama mereka dengan perusahaan Golbert.

Semenjak pembatalan kontrak kerjasamanya dengan perusahaan AH Corp., perusahaan Golbert mengalami penurunan dari segi keuangan maupun para investor. Hal ini memicu kuat kebangkrutan-lah yang akan diterima perusahaannya.

Golbert mengepalkan kuat jemarinya di atas meja dan berbagai umpatan kesal keluar dari mulutnya.

Hingga suara ketukan pintu menghentikan amarahnya. Dia menginstruksikan seseorang yang mengetuk pintu itu untuk masuk.

Sekretarisnya kemudian masuk dengan seorang pria bersetelan jas hitam mengkilap dan dua orang pria bertubuh tegap mengawal di belakang.

Golbert beranjak dan berjalan menghampiri pria itu. Sekretarisnya kembali ke mejanya dan dua pria yang bertubuh tegap berjaga di depan pintu.

Tinggallah Golbert dan pria bersetelan jas hitam itu di ruangannya. Mereka saling bersalaman lalu duduk berhadapan di sofa miliknya.

"Maaf sepertinya ini pertama kali kita bertemu." ucap Golbert dengan lugas.

Pria bersetelan jas hitam mengkilap itu adalah Leo Zeerland.

Leo menyeringai tipis, "Ya. Memang ini pertama kalinya kita bertemu dan kurasa pertemuan kita akan terus berulang."

Golbert mengernyitkan dahi, "Maksud anda?"

Leo mengulurkan tangannya, "Namaku Leo Zeerland." Golbert pun membalas uluran tangan Leo dan berkata, "Golbert Hegg."

Setelah mereka melepas tangan masing-masing, Leo melanjutkan. "Kita mempunyai misi yang saling berhubungan. Kau pasti sangat mengenal Arnold Herwingson kan?" ucapnya tenang namun sedikit memancing emosi Golbert.

Nampak urat-urat di leher Golbert tercetak jelas dengan rahang yang mengeras hanya mendengar nama trillionaire itu. Golbert menarik nafas lalu menghembusnya pelan. Berusaha mengendalikan amarah dalam hatinya. "Ya. Aku sangat mengenalnya. Bahkan kami hampir menjadi partner kerja." ucap Golbert penuh penekanan pada kata yang terakhir 'partner kerja'.

Leo tertawa pelan membuat Golbert menatapnya tajam. "Tenanglah Mr. Golbert. Kendalikan emosimu. Di saat seperti ini, emosi takkan berhasil membuatmu keluar dari masalah."

"Apa kau juga mengenal trillionaire itu?" Golbert memicingkan matanya seraya menatap curiga pada pria di depannya kini.

Leo beranjak berjalan pelan ke depan dinding kaca lalu menyeringai tajam. "Aku mengenalnya. Bahkan sangat mengenalnya. Dia adalah musuhku. Aku menginginkan kehancurannya, penderitaannya dan nyawanya berada dalam genggamanku." Leo berdesis tajam seraya sebelah tangannya terkepal kuat dengan tatapannya yang menusuk.

Golbert berdiri tak jauh dari Leo dan menatap punggung Leo. "Lalu apa tujuanmu menemuiku?"

Leo berbalik dengan memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya. "Aku memberimu satu penawaran yang pasti akan membuat kita saling menguntungkan."

"Penawaran apa?" Golbert merasa tertarik akan ucapan Leo.

"Sebuah kerjasama. Aku yakin kau pasti akan membalas perbuatan Arnold yang telah membuatmu hampir bangkrut seperti ini kan."

Golbert diam sesaat lalu mengangguk membenarkan ucapan Leo.

Lanjutnya, "Ku dengar dua minggu lagi Arnold akan mengadakan acara pertunangan secara besar-besaran. Di hari bahagianya itu, kita bisa melancarkan aksi pembalasan dendam kita terhadapnya."

Golbert tersenyum miring, "Aku setuju. Lalu apa rencana selanjutnya?"

Leo menatap tajam ke arah dinding kaca dengan rencana besar yang terpatri di otaknya.

'Kau sungguh bodoh telah melepasku waktu itu, Arnold. Dan jangan kau kira aku akan berdiam diri menyaksikan kebahagiaanmu.' desisnya tajam dalam hati.

*****

Seorang wanita yang terlelap menggeliat pelan mencari posisi ternyamannya. Dirasanya sudah pas, dia kembali pada tidur lelapnya.

Namun aroma maskulin dalam kamar itu telah mengusik indera penciumannya. Membuat wanita itu kembali menggeliat dan memaksakan matanya untuk terbuka.

Wanita itu mengerjapkan matanya menyesuaikan pandangan yang semula kabur dan kini terlihat jelas. Matanya berkeliling memperhatikan tempat dia berada kini.

Kaki jenjangnya melangkah turun dan berjalan menuju jendela kaca yang besar lalu membukanya.

Sukses membuat angin menyapa lembut dirinya. Rambut pirangnya menari-nari ke sana kemari.

Pemandangan yang ada di depannya berbeda dengan yang ada di mansion Wilbern. Dia yakin mansion tempatnya sekarang bukanlah mansion milik Wilbern. 'Apa ini mansion milik Arnold?'  benaknya bertanya.

Dia berdiri di balkon kamar itu sembari menikmati pemandangan hijau dengan berbagai pepohonan dan rerumputan kecil.

Tak lama kemudian, sepasang tangan kekar memeluk pinggangnya dari belakang.

Aroma maskulin kembali menyeruak ke indera penciumannya. Satu nama yang terlintas di otaknya. "Arnold." ucapnya sembari menoleh ke belakang.

Arnold mencium lembut pucuk kepalanya. "Ternyata kau sudah bangun. Apa yang kau lakukan di sini?"

"Baru saja. Aku hanya menikmati udara sore hari dan pemandangannya pun sangat indah. Oh ya, apa benar ini adalah mansion milikmu?" tanya Greta sedikit ragu.

Arnold tersenyum dan mengangguk. "Welcome to my kingdom."

Greta tertawa geli, "Kingdom? Apa-apaan kau ini , Arnold. Kita bukanlah hidup di negeri dongeng."

Arnold menggenggam tangan Greta lalu mencium lembut tangannya, "You are my queen and i am your king."

Pipi Greta bersemu merah. Dia tersenyum malu dan menggigit bibir bawahnya. Kepalanya sedikit menunduk menyembunyikan rona merah di wajahnya.

Arnold mengangkat dagu Greta agar tatapan mereka sejajar. Lalu tangan Arnold bergerak mengusap bibir Greta dengan ibu jarinya. "May i get our first kiss now?"

Greta menelan salivanya gugup. Pasalnya saat menjalin hubungan dengan Mark dulu, dirinya belum pernah kontak fisik yang sedikit intim seperti pelukan atau ciuman. Hanya sebatas pegangan tangan.

Greta diam sejenak lalu mengangguk samar. Perlahan Arnold mulai memiringkan wajahnya dan saat sudah dekat, bibir mereka menyatu dalam satu kecupan singkat.

"Satu kecupan yang akan membuatku semakin tak bisa jauh darimu, my Queen."

Satu kecupan yang sukses membuat kaki Greta melemas, detak jantung yang menggila dan desiran hangat mengalir ke sekujur tubuhnya.

Arnold mengusap pelan pipi Greta, "Kau tenang saja. Aku takkan menyentuhmu lebih sebelum kita menikah nanti."

Lidah Greta terasa kelu. Bibirnya bungkam dan tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Dirinya hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban.

*****

Morning guys..

Sorry part ini lebih sedikit dari part sebelumnya. Next part akan lebih panjang. So, tetap nungguin ya updatenya.

Vote dan komentarnya ya ..
Thanks all..

Be My Queen ✔ (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang