Part 5: Loosing sense

16.3K 900 17
                                    


Will be set private on 22 Jun'18, please follow to read!

Mulmed diatas itu babang Adrian, bener-bener make me loose my sense. Ahayy!

---


Hatiku bilang aku harus ke kamu. Tapi kata akal sehatku jangan!

Kamu bayangin gimana rasanya?

- Dilan by Pidi Baiq, page 57





A month later

"Gue datang bulan" ucap gue ke Ian.

Gue minta dia datang ke apartment gue sore ini.

Adrian hanya menatap gue dalam, menyusuri wajah gue "kamu kenapa Ra?" tanyanya.

"Yan, loe denger gak sih gue ngomong apa? Gue bilang gue datang bulan. Gue gak hamil anak loe. Loe bebas, kita bebas" ucap gue lagi.

Adrian mendesah.

"Iya, aku denger kamu ngomong apa" jawabnya.

"Tapi ini.." ucapnya lagi sambil membelai pipiku, tangannya yang besar mengusap bekas air mata di pipi gue. "Kamu kenapa? Berantem sama Aric?" tanyanya lembut.

Gue tergugu, menatap Ian sekilas lantas tanpa basa-basi langsung menabrakkan diri ke dada Adrian yang bidang, kembali menangis. Ian memeluk gue lembut.

Gue emang payah, atau mungkin juga karena hormon menstruasi, tapi gue emang begini. Tampak 'wow' dari luar, tapi sebenarnya gue cemen, dan manja. Gue anak tunggal, bokap gue tajir, gue terbiasa mendapatkan apapun dengan mudah. Termasuk mendapatkan Aric, cinta masa kecil gue.

Tapi udah beberapa bulan terakhir ini hubungan gue sama Aric terasa hambar, walau kita ketemu nyaris setiap malam tapi gue ngerasa semu. Gue ngerasa perlakuan Aric ke gue sama kayak perlakuan dia ke Arumi, adiknya. Bedanya cuman, kita tidur bareng. Dan puncaknya adalah malam ini. Malam ini Aric akhirnya minta putus dari gue. For God sake, gue udah tunangan setahun sama dia. Orang tua kita berteman baik, gue gak akan tega melakukan itu ke ortu gue dan ortunya Aric.

Aric baru terdiam setelah gue mengancam akan melakukan hal bodoh yang membuat dia menyesal kalo dia beneran mutusin gue, dan kata – kata gue sukses membuat Aric diam dan langsung pergi setelah sebelumnya membanting pintu apartment gue.

Gue menghabiskan 1 jam berikutnya dengan menangis. Gue tahu gak seharusnya gue melanjutkan hubungan yang beneran udah terasa kering kayak kerupuk kelamaan dijemur ini. Udah gak enak. Apalagi melanjutkan ini ke jenjang pernikahan, bisa-bisa umur pernikahan gue cuman seumur jagung. Amit-amit deh. Tapi gue beneran gak bisa melakukan itu ke ortu gue. Mereka beneran berharap banyak dari hubungan gue dan Aric.

Dari semua mantan pacar gue, cuman Aric yang langsung dapat lampu hijau tanpa basa-basi. Ortu gue suka sama Aric dan gue gak mau mengacaukan itu.

Setelah capek menangis gue membersihkan wajah gue yang sembab di kamar mandi sekalian pipis, dan saat itulah gue sadar kalo tamu bulanan gue datang. Alih-alih bahagia, gue malah menghabiskan 15 menit berikutnya dengan menangis lagi. Entah apa yang gue harapkan, mungkin kalo gue beneran hamil anak Adrian, gue bisa nemuin jalan keluar dari hubungan gue sama Aric yang buntu? Gue menggeleng, pikiran itu terlalu absurd bahkan untuk otak gue yang kadang korslet.

Keluar dari kamar mandi, gue langsung mengambil hp dan meminta Adrian datang kesini.

"Are you okay Ra?" bisikan Adrian di telinga gue membuat gue kembali ke masa kini.

Gue mendongak. Wrong move. Adrian ternyata sedang menunduk menatap gue. Tinggi gue dan Adrian gak terlalu jomplang karena untuk ukuran perempuan Asia gue memang termasuk tinggi, 172cm, sementara Adrian sekitar 180cm. Gue mendapati wajah Adrian berada terlalu dekat dengan wajah gue. Seharusnya gue mundur, seharusnya gue menarik diri, tapi gue gak bisa. Sumpah.

Gue ngerasa jantung gue bakalan meledak, gue sampe takut Adrian bisa mendengar detaknya yang bertalu-talu kencang. Gue menatap bibirnya, mendadak ingat bagaimana rasa bibir itu di bibir gue. Gue menelan ludah.

Adrian menangkap arti tatapan gue lantas menarik tangan gue, mengarahkannya ke dada kirinya.

"Feel it" bisiknya. Gak sekalipun matanya mengalihkan pandangan dari gue. Gue bergetar merasakan detak jantung Adrian yang berdetak sekencang gue. Dan dengan itu saja pertahanan gue jebol.

Gue memiringkan wajah, menempelkan bibir gue ke bibir Adrian, menyesapnya cepat.

Begitu gue bergerak, Adrian gak membuang waktu sama sekali. Dia memeluk gue lebih erat dalam satu tarikan dan menciumi setiap sudut wajah gue dengan sayang. Dia memperlakukan gue seperti porselen, dan membuat gue benar-benar merasa disayang.

Sementara gue, gue memperlakukan dia seperti pria bayaran, mencecap dan meraba dengan kuat. Setelah sebulan tidak bersentuhan namun tetap bertemu rutin sebagai teman, ternyata tubuh gue berkhianat, tubuh gue merindu.

Gue tersenyum dalam hati waktu mulai merasakan tonjolan hasrat Adrian di sekitar kewanitaan gue, ternyata bukan hanya gue, dia juga rindu sama gue.

"Want me to help with this?" tanya gue binal sambil mengelus tonjolan dibawah sana.

Gue bisa mendengar Adrian terkesiap kaget.

"Kamu... kamu... kan lagi gak bisa" dia tergagap.

Gue memutar bola mata, si polos ini beneran deh.

"Gak usah khawatir soal itu, there are many ways" jawab gue sambil mengedipkan mata ke Adrian, membantu membuka ikat pinggangnya.

---

Uhuk... uhuk... lalu keselek. Ini Iranya kelewat agresif apa Ian nya yang kelewat polos dah? Panas dingin gue ngetiknya, sumpah! hahaha...

Vote & Comment ya guys... 5 chapter, vote lumayan tapi gak ada yang comment, apa kalian juga lagi keselek seperti saiyah? *laluhening* ;p

Friends don't kiss 💋Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang