Part 6: Love, not like

15.4K 866 7
                                    

First chapter with Adrian's POV, deg-degan gue ngetik POV nya kangmas anteng tapi uhuy ini, susah nulis perpektif cowok baek-baek, hehehe....

Btw, beda dengan Forget Me Not yang lebih emosional, cerita kali ini emang rada pervert ya, jadi jangan bingung kenapa gayanya beda. Happy reading guys...

---


You Don't Like Me, You Love Me

- Chemistry, page 57





ADRIAN POV

Aku terbangun dengan kaget karena bunyi ringtone hp ku yang terus berbunyi, sedikit kehilangan orientasi tempat dan waktu. Lalu mengangkat handphone dengan setengah bermimpi sambil berusaha mengingat dimana aku berada, kenapa kamar ini berbeda dengan kamarku.

"Ya.. Halo..." suaraku serak khas orang baru bangun

"Ini dengan... Adrian?" suara pria di sebelah sana terdengar ragu

"Ya. Ini siapa ya?" tanyaku bingung. Aku terlanjur mengangkat hp tanpa melihat nama peneleponnya tadi.

"Gini Adrian, teman kamu kayaknya pingsan di club nih"

"Hah? Siapa?" tanyaku spontan

"Aduhh.. gimana ya, saya juga gak tau namanya, tapi orangnya tinggi, ganteng, err.. oh iya, ini saya telepon pake hp dia. Boleh tolong cek caller id" usul si penelpon.

Aku melirik ke layar dan langsung kaget begitu melihat nama Aric disitu

"Pingsan? dimana?" ucapku agak keras karena kaget

Sesuatu terasa bergerak di perutku, menggumam tidak jelas. Aku terkesiap menoleh ke bawah.

Pria di sebelah sana menyebutkan nama club malam di dekat apartment Ira.

Aku langsung lemas begitu menemukan wajah cantik Ira yang sedang tertidur di perutku. Astaga... Did I just... aku menoleh ke bawah perut dengan kalap. Retsleting celanaku terbuka, Juniorku di luar boxer. Tidak perlu genius untuk tahu apa yang baru saja terjadi. Gosh!

"Halo.. Adrian" panggil suara di seberang mengagetkanku.

"Eh iya, saya kesana sekarang" ucapku buru-buru. Ingatan tentang kejadian beberapa jam yang lalu sukses membuat Juniorku yang sedang terlelap bangun lagi.

"Bilang aja mau ketemu Devan" ucap suara di seberang lagi sambil menutup telepon.

Sambungan telepon tersebut sudah mati beberapa menit yang lalu tapi aku masih terduduk diam sambil berusaha menenangkan Juniorku yang terlanjur bangun. Menatap wajah Ira. Tidak berhasil, malah semakin keras. Shit!

Aku berdecak, mengelus kepala cantik di perutku dengan lembut sambil mencium keningnya sekilas sebelum membenarkan posisi tidur Ira, lantas berdiri dan mengancingkan celana dengan Junior yang masih keras.

"Mau kemana?" ucap suara serak karena mengantuk di atas ranjang.

Aku terkesiap kaget. Oh, that face. Bener-bener bikin aku galau antara harus jemput Aric atau stay disini aja mengulang kejadian beberapa jam lalu. Sial! Pikiran gue jadi mesum kalo ada di sekitar Ira.

"Sorry, aku harus pulang, mama telepon, ada urusan yang harus dibicarain malam ini juga" ucapku berbohong.

Ira mengangguk sambil memejamkan matanya lagi. "Call me" ucapnya sebelum kembali tertidur


Aku menyetir ke arah Immigrant, night club di dekat Apartment Ira dengan galau. Aku jarang berbohong. Keluargaku selalu menekankan pentingnya arti kejujuran. Tapi aku gak rela ngasih tau Ira yang sejujurnya. Kalau aku pergi bukan untuk pulang, aku pergi untuk menjemput pacarnya yang sedang mabuk di night club. Aku gak mau ngasih tahu semua itu karena aku gak mau Ira ikut. Aku gak mau melihat Ira mengkhawatirkan Aric di depan mataku, karena aku gak akan tahan.

Sudah cukup sebulan ini aku menahan diri, terdiam dan menghindar setiap melihat kedekatan mereka. Biar gimana, Ira, perempuan yang membuatku gila, adalah pacar sahabatku sendiri. Ya, aku memang brengsek.

Malam ini, saat tahu Ira datang bulan dan otomatis tidak hamil anakku, semestinya aku pergi dan berlalu. Just like that. Tapi aku gak bisa. Setelah apa yang sudah kami lakukan di Amsterdam aku benar-benar gak bisa lepas dari pesona Ira. Ira terlalu memabukkan.

Aku berjalan masuk ke immigrant yang penuh sesak dengan pikiran penuh. Mencari si penelepon, Devan, ke arah bar, lokasi yang disebukan bouncer di depan dan langsung tersentak melihat pemandangan di depanku. Aric, sahabatku, sedang terduduk di kursi bar sambil memeluk seorang wanita di sebelahnya.

Pemandangan itu membuatku tertawa miris. Sungguh lucu bagaimana takdir bermain. Aku setengah mati mendambakan Ira dalam diam, Ira bersikeras untuk tidak berpaling dari Aric walau bermain api denganku dibelakangnya, dan ini... ini Aric malah ada di pelukan wanita lain dalam kondisi mabuk, padahal aku tahu pasti bahwa sejak dengan Ira, Aric sudah berhenti mabuk-mabukan dan ONS.

Aku menghampiri mereka. "Hai, saya Adrian" ucapku resmi ke wanita di samping Aric.

Wanita itu cantik, sangat, dengan kostum yang sangat mengundang. Aric memang selalu dikelilingi wanita-wanita cantik. Wanita itu menatapku dan tatapannya langsung membuatku mengerti kenapa Aric khilaf, mesti belum tentu itu yang terjadi.

"Saya Masayu, panggil saja Ayu" ucap si perempuan lembut.

Pada detik dia bersuara, saat itu juga aku tersentak. Suaranya bikin aku kaget. Suaranya lemah gemulai dan menggetarkan iman, bukan jenis suara yang kuharapkan keluar dari seorang wanita dengan dandanan dan kostum mengundang seperti itu.

"Devan, tolong dong..." panggilnya ke seorang bartender di balik bar.

Devan yang dipanggil langsung keluar dari bar dan memanggil seorang bouncer untuk membantu memapah Aric ke mobil.

"Thanks Devan" ucapku sebelum berlalu, sempat berhenti sejenak sambil menatap Ayu. Aku benar-benar penasaran kenapa Aric bisa mabuk sama dia malam ini, sambil memeluknya lagi. Itu aneh, Aric bukan tipe pria PDA (*Public Display of Affection = suka memamerkan kemesraan di depan umum) yang suka memeluk perempuan. Sama Ira aja jarang. Aku tahu pasti itu karena aku sahabatnya sejak kecil.

Ayu menatapku bingung karena aku hanya terdiam menatapnya tanpa beranjak, sementara si bouncer sudah berjalan maju. Aku menggeleng pelan, memutuskan untuk bertanya langsung ke Aric besok. Ikut campur bukan sifatku.

Aku menyetir balik ke apartment dengan Aric yang sudah tertidur lelap di jok penumpang. Pikiranku masih kacau.

"Ira..." ucap Aric di sebelahku, aku tersentak. Menatap ke arah Aric namun matanya masih tertutup, berarti dia mengigau.

"Maafin aku..." ucapnya lirih sebelum akhirnya sunyi.

Lampu lalu lintas didepanku berubah merah. Aku berhenti, menarik rem tangan sambil mendesah resah. Aric dan Ira jelas sedang ada masalah. Sebagai teman, bukankah seharusnya tugasku adalah membantu mereka, bukan malah menjadi duri dalam hubungan mereka?

Tapi salahkah aku kalau sesekali aku juga ingin menjadi egois? Tuhan tahu sejak peristiwa Amsterdam bulan lalu, aku tidak bisa mengenyahkan Ira dari kepalaku.

Aku menoleh lagi ke Aric dan akhirnya membuat keputusan. Aku harus menjauh dari Ira. Harus dari sekarang, sebelum terlanjur lebih jauh dari ini, karena aku sadar bahwa aku bukan sekedar suka Ira, tapi aku mencintainya.    

---

Minggu depan mau on duty seminggu, i'll try best to update both FMN & FDK, boleh disemangatin pake bintang kecilnya kakak? *senyummanis*

Friends don't kiss 💋Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang