Bagian 2: Rencana

121 34 20
                                    

Aku melupakan kata-kata mamaku untuk tidak menerima permintaan pertemanan dari orang yang tak kukenal. Klik. Aku mengkonfirmasi permintaan pertemanannya. Dave memang sering menanggapi komentar ku di postingan-postingan grup. Jadi aku yakin saja dia tidak berbahaya. Lagipula kita seumuran.
Tak terasa sudah hampir 3 jam aku menghabiskan waktuku di Facebook. Aku log out dari aplikasi tersebut agar tidak terganggu dengan notifikasi yang muncul.

Saat itu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Ayahku pulang dari tempat kerjanya. Ia hanyalah seorang buruh pabrik. Tapi kali ini raut wajahnya tampak ceria. Aku heran, padahal biasanya ia selalu marah-marah karena kelelahan. Aku memberanikan diri bertanya kepada ayahku, "sepertinya ayah sedang gembira ya?". Uhh... Aku terdengar seperti mengutarakan sarkas.

Aku memang tidak akrab dengan ayahku. Aku bahkan jarang sekali berani untuk menatap wajahnya. Ia bukanlah ayah yang lemah lembut. Ia sangat mengutamakan kedisiplinan. Salah sedikit saja pasti aku sudah kena marah dan pukulan. Dia pernah bilang padaku bahwa aku harus disiplin. Dia tidak mau aku bermain-main dan berakhir seperti dirinya yang hanya menjadi buruh pabrik.

Ayahku menoleh ke arahku, "iya Rin. Ayah punya kabar bagus". Senyuman yang hampir tak pernah aku lihat akhirnya tampak di depan mataku. Mamaku keluar dari dapur dan membawakan segelas teh hangat untuk ayah, "jadi sudah ditentukan yah?", tanya mamaku sambil mengulurkan gelas ke ayah. Ayah mengangguk, "dia sudah memastikan semuanya". Mama menatapku sambil tersenyum lebar, "syukurlah". Apa sebenarnya yang dibicarakan mereka?

Ayah menepuk pundak ku, "Rin, maafkan ayah". Huh? Maaf? Sekali lagi aku mengumpulkan keberanian ku untuk bertanya, "maaf kenapa yah?". Mama mendekati ayah dan membisikkan sesuatu kepadanya. "Biar mamamu yang menjelaskan", ayah beranjak dari sofa dan menuju kamarnya. "Rin, kumohon kamu jangan marah dengan keputusan kami", kata mamaku dengan lembut. "Sebenarnya ada apa ma?", aku tentu saja sangat penasaran.

"Kami sudah tidak sanggup membiayai sekolahmu. Jadi kami ingin menitipkan kamu ke sahabat ayahmu yang ada di Jepang. Kami yakin kamu pasti bisa hidup lebih bahagia di sana", air mata mama mulai mengalir di pipinya.
"Maaf ma, bukannya ayah masih sanggup membiayai sekolah ku?".
Mama menggeleng, "sebenarnya kami meminjam uang di bank, Rin. Dan kami tidak punya uang lagi untuk melunasi itu. Jadi, Ryuji, sahabat ayahmu itu yang membantu kami melunasi hutang-hutang kami".

Mama tak pernah cerita tentang hutang. Tapi ternyata sudah semenjak aku masuk SMP orang tuaku memulai pinjam uang di bank. Dan selama ini Ryuji lah yang melunasi hutang orang tuaku. Orang tuaku merasa berhutang budi kepada Ryuji. Ryuji dan istrinya pun belum dikaruniai anak sehingga Ryuji menawarkan kepada ayahku agar dirinya bisa mengangkatku menjadi anaknya. Orang tuaku tidak bisa menolak permintaan Ryuji. Air mataku mengalir deras. Aku sebenarnya tidak terima dengan ini semua.

Mama memelukku, "maaf nak.. mama benar-benar minta maaf. Ini semua sudah aku dan ayahmu pertimbangkan. Kami yakin sekali kau akan mendapatkan kehidupan yang lebih layak di sana. Dan tentu saja kamu pasti bisa lebih mudah meraih cita-cita mu".
Ya. Orang tuaku benar-benar tidak ingin aku berakhir seperti mereka. Tapi tetap saja, aku tidak ingin meninggalkan mereka.

Dini hari aku terbangun. Tidurku kali ini tidak nyenyak. Masih terbayang rencana yang dikatakan mama tadi malam. Aku ingin mencari cara agar orang tuaku membatalkan rencana itu. Pikiranku masih blank. Tak peduli berapa kali aku mencoba untuk tidur lagi dan melupakan hal itu namun tetap gagal. Untunglah sekarang masih libur semester jadi aku tak perlu khawatir bangun siang.

Dengan air mata bercucuran aku mengetuk pintu kamar orangtuaku. Mama membuka pintu, "ada apa Rin? Kok belum tidur? Loh.. kamu nangis Rin?". Pertanyaan dari mama ini membuat air mataku keluar lebih deras. Aku tak bisa membayangkan diriku hidup tanpa perhatian mama. "A-aku... aku tidak bisa tidur ma..", kata-kata yang keluar dari mulutku bergetar.

Mama memelukku, "iya nak.. mama paham. Mama paham pasti rasanya berat untukmu meninggalkan kami". Aku melepaskan diri dari pelukan mama, "ma! Pokoknya aku gak mau ke Jepang! Aku mau tinggal sama mama! Aku gak mau ninggalin mama!".

Jari-jari halus mama mengusap air mataku, "iya... Tapi mama benar-benar sudah tidak sanggup membiayai kamu nak". Entah kenapa saat itu amarahku benar-benar tak bisa ku kontrol. Aku menepis tangan mama. Sesuatu yang sama sekali belum pernah aku perbuat. "Aku mau keluar dari sekolah saja! Daripada meninggalkan mama di sini... Lebih baik aku putus sekolah!", teriakku.

Mungkin teriakan ku terlalu keras hingga membuat ayah terbangun dari tidurnya. Ayah mendekati kami, "Rina! Kembali ke tempat tidurmu!". Aku tidak peduli seberapa marah ayah kepadaku, "ayah tidak paham!". Plakk! Ayah menamparku, "apa maksudmu putus sekolah? Kamu mau mempermalukan ayah?". Aku hanya menunduk tak berani menatap ayah. "Kembali ke tempat tidurmu!", perintah ayah.

Seperti terhipnotis, entah kenapa aku selalu menuruti perintah ayah. Aku tidak pernah membantah sedikitpun. Kakiku yang lemas ku gerakkan menuju kamarku. Aku tentu saja masih tak bisa tidur. Kucoba mendengarkan musik instrumental yang biasanya menenangkanku. Berhasil. Tapi tetap saja aku belum bisa tidur.

Setelah lebih tenang, aku meraih ponselku dan membuka Facebook. Kulihat Dave sedang online. Hmm kenapa tidak aku chat saja. Aku masuk ke messenger dan mulai chat dia

Aku: Hi Dave

Belum satu menit dia membalas.

Dave: Whassup?

Haha apa ini? Aku tidak terbiasa dengan slang. Aku tidak langsung membalas melainkan stalking profilnya terlebih dahulu. Huh? Dia tinggal di Jepang? What a coincidence! "Wah kalau begini mendingan aku setuju aja sama rencana ayah. Siapa tau bisa bertemu dia", gumamku melupakan semua perkataan yang aku ucapkan ke orangtuaku tadi.

Aku masuk ke messenger lagi.

Aku: do you live in Japan?

Dave: Yeah, in Shibuya, Tokyo.

Hmm keren... Bisa tanya-tanya tentang kehidupan di sana nih.

Dave: Where are you from?

Aku: I'm from Yogyakarta, Indonesia. Are you a highschool student?

Dave: Yeah, in my last year of high school.

Ahh perfect. Masih SMA juga haha.

Aku: I'm in my second year, where do you study?

Siapa tau kita bisa sesekolah, hehe. Lima menit kemudian dia menjawab. Ternyata dia sekolah di salah satu sekolah internasional di Shibuya. Dia keturunan British-Jepang. Pantas saja namanya tidak terdengar seperti nama orang Jepang.

"Sempurna, aku bisa belajar bahasa Inggris dan bahasa Jepang sekaligus nih", batinku. Tak mau besok kehabisan topik pembicaraan, aku mengucapkan selamat tinggal dengan berdalih kepadanya bahwa aku mau tidur.

Aku: btw, it is late night here. I'm going to sleep. Bye

Dave: good night.

Aku log out dari akunku. Pikiranku menjadi lebih tenang. Aku berusaha untuk tidur lagi. "Satu, dua, tiga,...", aku menghitung domba yang ada di imajinasi ku.


A Tribute For You (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang