💎 Ashton 💎
"Minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin, Ibu, Ayah." Kata gue seraya mencium tangan pasangan suami istri yang ada di depan gue sekarang.
"Iya, minal aidin wal faizin juga, Mas Ashton. Kita juga minta maaf kalau ada salah selama ini." Ayah—yang tak lain adalah bokapnya Anaya, pria paruh baya yang tetap tampil keren, beliau langsung menarik gue ke pelukan singkatnya.
"Ayo, ayo, masuk. Di dalem masih banyak makanan loh." Kata Ibu, nyokapnya Anaya, ke gue dan Anaya yang baru saja datang dengan membawa pesanannya.
"Iya, Bu, Yah." Balas gue sopan setelah mengangkut plastik besar berisi ketupat.
Ini menjadi ketiga kalinya gue, Ashton Irwin, menghabiskan hari lebaran kedua bersama keluarga Pranoto, yang tak lain adalah keluarga pacar gue—Anaya. Biasanya lebaran hari kedua gue diisi leyeh-leyeh di rumah sambil main PS bareng saudara yang berkunjung. Namun, seiring waktu, tradisi itu berubah. Lebih tepatnya berubah karena gue semakin dekat dengan keluarganya Anaya.
Sebagai seorang lelaki dan calon kepala keluarga yang baik, gue selalu diajarkan untuk selalu menghargai orang tua, termasuk orang tua pacar gue sendiri. Gue nggak ngerasa keberatan untuk berkunjung ke rumah Anaya, kemudian bermaaf-maafan dengan orang tuanya, Ayah dan Ibu, atau beberapa sanak saudara Anaya dari luar kota. Bahkan saking deketnya, mereka menyuruh gue untuk manggil mereka dengan sebutan "Ayah" dan "Ibu", udah nggak pake "Om" sama "Tante" lagi. Mereka bilang, "Kamu itu udah kita anggep kaya anak sendiri, Ashton". Mungkin, hal itu juga yang membuat gue semakin nyaman bisa berkumpul dengan keluarganya Anaya.
Anaya tiba-tiba muncul dari dapur waktu gue lagi ngobrol sama Ayah. "Kenapa, Nay?" Tanya Ayah.
"Opor ayam sama ketupatnya ternyata kurang," mukanya jadi keliatan cemberut, lucu. "Kata Ibu stoknya masih kurang kalau buat sampe besok malem. Takut ada tamu."
Mendengar itu, Ayah tertawa pelan seraya menepuk pundak gue dan berkata, "Ibunya Anaya emang gitu orangnya. Kalau persediaannya kurang, dia jadi panik."
"Wajar, Yah. Itu namanya sedia payung sebelum hujan, jadi biar aman gitu kan enak." Jawab gue.
"Ash, temenin aku ke tempat Bu Gita lagi nggak apa-apa, kan?"
Selagi gue masih bisa mengabulkan permintaan Anaya, kenapa enggak? "Yuk, sekarang aja biar cepet kelar."
Dan sekarang, udah hal biasa buat gue untuk bantu-bantu Anaya ketika Idul Fitri tiba. Rumah Anaya memang ramai dikunjungi saudara-saudaranya, terutama di hari pertama lebaran. Hari kedua mah udah nggak begitu rame, tapi tetep aja ada yang tiba-tiba dateng. Nggak heran kalau persedian opor ayam dan ketupat mereka cepet habis.
"Bisa bawanya nggak, Nay?" Tanya gue yang barusan mematika mesin mobil dan bergegas turun menyusul Naya. Tangannya udah penuh buat bawa plastik besar berisi ketupat. "Kalau susah sini aku bantuin."
"Nggak, nggak usah. Aku bisa sendiri kok, Ash." Anaya menaruh bawaannya di jok belakang, dia menatanya dengan rapi.
Tiga tahun sudah gue mengenal Anaya, dimulai dari jaman gue cuma tahu namanya lewat Calum—temen futsal gue sekaligus teman sekelas Anaya, PDKT, dan akhirnya bisa jadian. Tiga tahun itu juga gue memahami sifat-sifat Anaya. Dia supel, anaknya nggak bisa diem, pekerja keras, dan optimis. Gue yakin, semua sifat-sifatnya itu juga yang membawa dia tergerak untuk mengikuti beberapa event atau acara di jurusannya. Beberapa minggu yang lalu, Anaya juga cerita sama gue kalau mau daftar BEM fakultas di semester 3 nanti.
"Udah?" Tanya gue, memastikan semuanya udah masuk sebelum menutup pintu.
Anaya mengangguk dan mengacungkan ibu jarinya ke udara.
"Oke. Langsung balik ke rumah kamu aja, yuk."
Dengan begitu, Anaya langsung berlarian kecil, meyusul gue dan menempati bangku penumpang di samping gue.
"Gimana tugas sama laporan praktikum? Lancar?" Anaya bertanya setelah ia selesai memakai sabuk pengaman.
"Aman terkendali. Lancar. Cuma ya gitu," gue membelokkan setir ke kiri dan menoleh ke Anaya sekilas. "Jadwal tidur aku jadi berantakan. Kadang bisa nggak tidur demi nyelesaiin laprak." Keluh gue yang memang benar adanya.
"Dibawa happy aja. Namanya juga anak FTM. Keras, boss."
"FTM always ready for war." Balas gue dengan mengepalkan tangan ke udara.
Anaya melihat gue dengan tatapan geli, tapi menurut gue, tetep aja dia gemesin. Ia berkomentar, "Untung gue bukan anak teknik. Untung gue nggak ada laprak-laprak atau praktikum begitu. Untung aja." Lalu dilanjutkan dengan mengelus dada, bentuk rasa syukur sekaligus lega.
Kebetulan, gue dan Anaya beda jurusan. Gue, yang dari SMA udah ambil IPA, masuk ke Fakultas Teknologi Mineral (FTM) dan ambil jurusan Teknik Lingkungan. Sedangkan Anaya yang anak IPS memantapkan pilihannya di Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) dan ambil jurusan Manajemen. Gue nggak mempermasalahkan kita beda gedung kuliah, toh kita juga keterima SBMPTN di salah satu kampus negeri di Jogja yang sama. Jadi, frekuensi pertemuan kita nggak bakal menurun drastis.
Beda waktu kita SMA, kalau mau ketemu mah tinggal ketemu aja. Kalau sekarang, jangan ditanya. Kita harus sama-sama lihat jadwal kuliah, belum lagi kalau ada kelas pengganti yang bisa merusak jadwal pertemuan kita berdua. Tapi, terlepas dari semua itu, gue akan terus menghargai dan memanfaatkan waktu dengan Anaya sebaik mungkin.
Because I think spending time with her is so precious and I love every minute that we are together.
💎💎💎
ashton irwin as your boyfriend
bayangin aja yang kaya begitu main ke rumah lo waktu lebaran hUAAAAAAAAAAAAaaa
btw kalian bebas ngebayangin ashton yang jaman fetus kek jaman 2016, 2017, atau 2018. tapi kalo gue bayanginnya lebih ke ashton yang sekarang sih, yang 2018. soalnya kenapa ya? gue tuh ngerasa ashton makin tua malah makin lucu wuakakakakakak. sekian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda | Ashton ✓
FanfictionBut, how can someone leave you for no reason? copyright © 2018 by nasikucing