4

1.2K 307 122
                                    

💎 Ashton 💎

Gue pernah denger kutipan milik Tigress Luv yang bunyinya, "Love grows where trust is laid, and love dies where trust is betrayed." Ada yang setuju dan ada yang tidak. Bagi gue, gue sangat setuju dengan kutipan itu. Hubungan dibangun dari suatu kepercayaan, tanpa kepercayaan kita terhadap pasangan kita, habis deh hubungan lo.

Gue mempercayai Anaya, gue percaya dia nggak akan menyia-nyiakan kepercayaan yang gue kasih. Gue percaya dan gue membebaskan dia untuk berteman dengan siapa saja. Seharusnya Anaya senang, tapi, siapa sangka Anaya justru beberapa kali mempermasalahkan hal tersebut?

"Anaya, dengerin aku," gue menarik bahu Anaya pelan supaya dia bisa menghadap ke arah gue. "Relationships are about trust. If you have to play detective, then it's time to move on."

"Nggak ngerti." Katanya dengan malas.

"Nay, kita udah dewasa. Aku nggak mungkin nyuruh orang atau aku harus diem-diem ngawasin kamu, pergi sama siapa, kapan, dan di mana. Terus abis itu apa? Aku harus marah-marah karena cemburu, gitu?" Jelas gue pada Anaya. "Nggak, aku nggak mau kaya gitu. Aku percaya sama kamu. Bukan berarti karena aku nggak pernah cemburu, terus aku nggak pernah peduli sama kamu." Pun gue mengusap lengan mungilnya.

Yang gue ajak bicara justru terdiam dan menatap gue dengan tatapan bersalah. Mungkin yang Anaya ingingkan adalah gaya pacaran ala anak SMA, yang masih cemburu-cemburuan atau berantem karena hal cemburu. Tapi, gue nggak bisa. Sejak awal kita pacaran, gue nggak pernah mempermasalahkan 'cemburu atau tidak' pada hal-hal kecil. 

Contohnya adalah kalau Anaya pulang dianter atau dijemput cowok karena nggak ada motor atau mobil di rumahnya. Gue mempersilakan siapapun, cowok atau cewek, buat jemput Anaya dari awal pacaran. Gue sadar diri gue nggak bisa jemput dia; rumah gue cukup jauh dari kampus dan nggak ngelewatin rumah Anaya yang deket kampus. Gue juga paham, gue bukan tipe pacar pencemburu. Banyak yang bilang gue cuek hanya karena gue jarang banget yang namanya cemburu. Nggak, gue tetap peduli sama Anaya semampu gue. Yang gue terapin di sini adalah tentang kepercayaan. 

Selain masih pengin pacaran kaya anak SMA, Anaya juga masih kaya anak kecil. Pernah, waktu itu kita berdua jalan ke McD dan Anaya beli Ice Cream Cone. Dan sialnya, es krim itu mencuat dari cone-nya, kemudian jatuh ke lantai. 

Wajah Anaya langsung memerah dan keliatan bingung. Gue langsung manggil seorang Mas Cleaning Service (CS) buat bantu bersihin es krim yang berceceran, lalu gue menenangkan Anaya. "Udah, santai, nanti kita beli lagi." 

Dia menatap gue dengan mata yang berkaca-kaca, "Tapi kan antreannya panjang banget, Ash." Dan tepat setelah dia mengucapkan hal itu, air matanya turun deras. Ya, dia nangis tersengguk-sengguk di hadapan gue dan Mas CS McD. 

"Eh, eh, kok nangis, Nay?" Mendadak gue jadi ikutan panik. "Nggak apa-apa, nanti aku yang antre. Kamu mau nunggu di mana? Di sini atau di mobil?"

"Di sini." 

Emang sih waktu itu antreannya cukup panjang, mengingat malam itu adalah malam minggu, masih tanggal muda, dan orang kota berbondong-bondong nongkrong di McD. Akhirnya gue kembali mengantre, selama kurang lebih 20 menit, demi sebuah Ice Cream Cone rasa vanilla. Sementara Anaya nungguin gue sambil meratapi Double Cheeseburger dan Cola Float milik gue yang baru gue nikmati setengahnya.

Satu lagi. Sekitar dua bulan yang lalu, gue mengantarkan Anaya untuk kunjungan kuliahnya. Waktu itu, dia lupa bawa jas almamater kampus. Seperti yang sudah gue duga, dia nangis. "Aku nggak mau ikut, aku takut dimarahin Pak Hani. Aku malu, goblok banget sih aku." Tangisnya pecah di mobil. 

"Udah, Nay, nggak apa-apa kok. Kamu nggak bakal diusir sama dosen kamu." Kata gue. Gue sungguh tidak bisa memaksakan Anaya untuk turun dari mobil dan bergabung bersama teman-temannya.

"Kamu aja deh yang ikut kunjungan. Aku malu ikut, statistik kepikunan aku seratus persen." Sahut Anaya malas. Tubuhnya yang tadi tegak kini kembali bersandar ke jok mobil.

What? Gue bahkan nggak paham tentang statistik kepikunan atau apalah itu namanya. 

"Kamu kok pesimis gitu, Nay," tukas gue. "Bukan cuma kamu yang nggak pake jas almamater. Tuh temen kamu ada yang nggak pake atau lupa juga kaya kamu."

Emang bener kok, gue tadi liat beberapa temannya ada yang nggak pake jas almamater juga. Dan mereka keliatan biasa aja. Gue yakin, dosennya nggak bakal tega buat nyuruh Anaya atau teman-temannya pulang ke rumah lagi, mengingat jarak dari rumah ke tempat kunjungan juga cukup jauh. Apalagi, Anaya masih hobi nangis, gue jamin dosennya nggak bakal tega. 

Tapi, dibalik sikapnya yang masih kaya bocah, Anaya adalah seseorang yang perhatian. Dia perhatian banget sama gue, saking perhatiannya, Anaya pernah bawain bekal makan siang buat gue. Bukan hanya itu, dia benar-benar mengantarkan bekal itu sampai ke ruang kuliah gue. 

Anaya nggak segan-segan buat ngetuk pintu dan minta izin sama Pak Suyono, Dosen Kimia Dasar gue. "Permisi, Pak. Saya mau ketemu sama Ashton sebentar. Boleh, Pak?" Katanya, masih di ambang pintu.

"Oh, iya, silakan." Untungnya Pak Suyono memperbolehkan. "Ashton, urus dulu tamu kamu ini." Kata beliau sambil mengarahkan dagunya ke Anaya.

Gue menghampiri Anaya yang terlihat membawa seperangkat Tupperware warna biru dongker. Terdengar suara riuh dari dalam kelas, dari teman-teman gue yang mayoritas cowok. Ya, tau sendiri, mereka langsung bersiul dan melontarkan "cieee cie!" ke gue dan Anaya. Gue hanya menoleh ke arah mereka sebentar dan memutar kedua bola mata dengan malas.

"Ashton, aku bawain sup jagung buatan Ibu," dia menyerahkan seperangkat Tupperware tadi ke gue. "Katanya kemarin kamu kangen makan sup jagung buatan Ibu, jadi aku minta tolong Ibu buatin deh."

Gue terkekeh, "Kalo cuma sup jagung mah gampang, Nay. Nggak harus hari ini juga. Tapi, makasih banget loh."

"Oh, ya?" Anaya menyahut dengan gengsi.

"Iya, Sayang," gue tersenyum simpul. "Salam buat Ibu. Bilangin, maaf udah ngerepotin."

"Siap!" Anaya nyengir, lalu pergi karena katanya, setelah ini dia masih ada kelas.

Gue menghela napas panjang seraya tersenyum dengan tingkah laku Anaya yang manis. Walaupun gue sedikit malu sama temen-temen gue, berasa anak SD dianterin bekal yang ketinggalan di rumah sama emaknya. 

Lupakan tentang sifat bocah Anaya yang menggemaskan dan juga agak merepotkan. Setidaknya, untuk sekarang, gue sayang sama dia.





💎💎💎

sejauh ini, apakah kalian merasa punya beberapa kesamaan dengan anaya?

selamat malam. jangan lupa istirahat, mblo! ♡

Tacenda | Ashton ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang