20

4K 191 12
                                    

yanz_BCG ✭✭ Silver
December 2013

DUA PULUH

-Munif POV-

Perasaanku sedikit gelisah akhir-akhir ini, Dendy susah sekali aku suruh pulang dalam beberapa minggu terakhir. Aku tak memaksanya menginap di tempatku tak apa dia di rumah Nathan, tapi paling tidak dia melihatku sejenak, namun susah sekali. Aku pasrah akan keputusannya, aku harap dia tau mana yang terbaik. Aku pun melakukan rutinitas seperti biasa, kuliah dan setelahnya ke cafe untuk mengontrol.
Aku tak lagi harus memasak setiap hari, anak buahku bertambah dan mereka bisa belajar resepku dengan mudah.

Sekitar jam 10 pagi, aku baru keluar dari kelas. Dari tadi pagi, Linda sudah meng-sms aku berkali-kali dan aku baru membalasnya karena kemarin aku mengajaknya kencan. Aku dan Linda, mantan adikku itu lagi pdkt. Dia cantik, kurasa tak ada salahnya aku mencoba menjalaninya. Aku pun membalasnya memastikan tempat bertemu. Kami menaiki mobil masing-masing untuk ke tempat tujuan, sekedar makan siang di taman dan sedikit curhat-curhat karena sudah dua hari kami tak bertemu.

Seperti biasa, Linda tampil sexy namun anggun dengan terusan warna pastel dan tipis, rambutnya yang digerai bergoyang-goyang di tiup angin. saat aku panggil, dia menoleh. Terlihat dia menggunakan kacamata hitam besar yang terlihat hanya bibir pink mungilnya. Dia langsung mencium kedua pipiku dan bergandengan tangan sambil menyusuri jalan.

"Bagaimana harimu sayang?" tanya Linda manja.

"Lelah.." keluhku dengan wajah lesu.

Tangan Linda yang dingin dan lembut mengusap pipiku, "Jangan terlalu serius, mungkin kamu perlu rileks.. Aku datang buat semangatin kamu.." ucapnya dengan senyuman girang.

Linda sosok yang nyaris sempurna buatku walau desas-desus sering mengatakan bahwa dia gadis yang hobi berganti pasangan.

Dia mengusap bahuku lembut, "Mungkin kita perlu nonton film comedi setelah lunch?"

"Ah ide bagus.. Kau cerdik.." aku mencubit hidung Linda, dia tertawa-tawa.

Namun tiba-tiba Linda terlihat shock. "Itu!" teriaknya sambil menunjuk sesuatu, dia berlari sedikit menjinjit karena high heelsnya, dan aku shock saat melihat apa yang Linda kejar.

Aku pun berlari, "Dek!!" teriakku. Aku duduk di kursi tempat Dendy terbaring.

Linda menepuk-nepuk pipi Dendy dan mengusap kepalanya. "Panas banget..." ucap Linda khawatir.

Saat aku ingin mengangkat tubuh Dendy, aku merasakan bajunya lembab. Bagaimana bisa? Oh ya tadi malam memang hujan lebat tapi... Apa mungkin dia berada disini semalaman? "Nathan.. Eng.." terdengar Dendy menggerang pelan dengan mata yang masih terpejam.

Aku meremas tanganku geram. Siapa lagi yang harus bertanggung jawab, kalau bukan dia!!!

***************

-Nathan POV-

BRUUUKK!!

Buku yang tadi kupegang terjatuh di atas dada, "Munif?" desisku.

Terlihat mata Munif sedikit sembab memerah, lengannya yang kokoh sedang meremas tangannya geram sedangkan rahangnya mengencang.

"Ikutlah bersamaku.." desisnya dengan suara yang sangat dingin.

"Males.." ucapku dingin sambil kembali sibuk mengangkat bukuku lagi di depan muka.

Tanpa izinku dia langsung menarik lenganku kasar, aku terlonjak.

"Apa-apaan sih Nif!!" bentakku sambil menarik tanganku keras.

Munif menoleh ke arahku, wajahnya susah dideskripsikan. Ada banyak expresi bercampur. Aku bergidik ngeri karena baru pertama kali ini melihat Munif sekacau ini, "Kau apakan adikku, Nathan?" desis Munif, suara tenang yang berusaha menahan amarah.

Deg... Apa Munif sudah bertemu Dendy dan dia menceritakan banyak hal tentangku ke Munif? Sial.. Tukang adu, "Pasti Dendy cerita banyak hal kan tentang gue..." ucapku ketus.

"Gak!" kali ini nada suara Munif sangat tinggi, aku terkejut karena baru kali ini dia membentakku.

"Bagaimana bisa?" ucapku acuh.

"Bagaimana bisa tanyamu? Picik sekali ya pikiranmu jika kau berpikir Dendy seorang pengadu. Asal kau tau, saat aku telepon Dendy selalu berakting ceria dan mengatakan dirinya baik-baik saja. Dia selalu menutupi kebusukanmu!!!"

"Lalu? Buat apa kau membawaku hah?" tanyaku habis kesabaran karena Munif terlalu berbelat-belit.

"Dendy kritis di ruang ICU sekarang. saat aku menemukannya terbaring tak berdaya di taman, dia mengigaukan namamu. Kau dalangnya kan? Apa yang kau lakukan pada badannya Than? Kau having sex dengannya? Kau menyiksanya?!!"

Aku hanya terdiam mendengar nada suara Munif yang mulai mengancam layaknya seorang kakak yang marah karena adiknya telah dilukai.

"Kalau kau punya penjelasan, maka katakan agar aku tak marah tanpa alasan padamu. Tapi jika kau diam berarti kau memang melakukannya.."

Hening... Munif menatapku tajam sekitar satu menit, kemudian dia meraih lenganku kasar, "Ikut aku!" "Gak! Lu gak bisa maksa gue!!" bentakku keras.

"Gak bisa maksa lu?" ucapnya sinis sambil memicingkan mata, "Ini ulah lu, dan lu harus tanggung jawab!!"

"Gue disana juga gak ngaruh kali!!!" teriakku.

"Ngaruh Than. Tubuhnya mungkin tidur, tapi kupingnya masih bisa mendengar dan otaknya masih bisa merespon suara. Itu yang aku pelajari. Dia butuh dukungan psikis dari seseorang yang dia tunggu sangat lama di bangku taman itu. Dan itu pasti kau kan?"

Aku kembali diam dan memalingkan wajahku, tapi tiba-tiba Munif meraih tanganku dan menggenggamnya.

"Than, Dendy itu cinta banget sama kamu, dia sudah berkorban banyak. Hatinya rapuh, badannya hancur. meski terus kau sakiti dia tetap bertahan Than hingga badannya juga yang roboh. Apa kau masih punya hati Than? Aku sangat memohon agar kau datang untuknya." suara Munif mulai bergetar.

Aku masih terdiam.

Aku mendengar Munif mulai terisak melihat responku yang acuh, "Dendy terserang hepatitis dan mengalami peradangan di bagian-bagian 'belakangnya'... Than.. Ikut aku tolong." suaranya semakin tercekat.

Aku nyaris terbawa suasana, aku tak tahan melihat kondisi Munif seperti sekarang, tangannya yang dingin masih menggenggam tanganku. Aku masih diam.

Buk... Aku melotot shock saat Munif berlutut di depanku, "Tolong ikut bersamaku. Mana hatimu Than... Masih kah kau dendam dengan kami yang sudah sehancur ini?"

Aku mendongak tanpa mau menatap Munif, dengan ekspresi angkuh aku menjawab, "Aku tak perduli. Pergi sekarang!"

"Jangan menyesal dan menangis kalau Dendy sudah tak ada lagi... Aku heran ada orang yang hatinya sekeras batu." desis Munif dingin.

Dadaku rasanya sesak, aku membelakangi Munif dengan mataku yang mulai tergenang air. Munif berdiri, rahangnya mengeras dan menatapku sangar. Ditariknya bahuku dengan kasar agar menghadap ke arahnya.

BUUUKK!!!

Bogeman keras menghantam perutku, "Kalau terjadi apa-apa terhadap adik kesayanganku, kau tau sendiri apa yang akan terjadi." ucap Munif sinis.

Dia keluar kamar, membanting pintu dengan kasar. Baru kali ini aku melihat Munif bisa kasar. Aku terduduk memegang perutku. Air mataku jatuh berhamburan.. Dendy.. Aku harus bagaimana?

BERSAMBUNG

Bakso NANO NANOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang