11

6.2K 245 13
                                    

yanz_BCG ✭✭ Silver
September 2013

SEBELAS

Kilas balik: part sebelumnya nathan menerima kenyataan bahwa dirinya gay, berkat pencerahan dari mamanya. Maka dia mulai menjalani keduanya untuk mendapatkan pilihan salah satunya.

-NATHAN POV-

Karena sudah sore, tak mungkin Dendy di sekolah dan aku tak tau rumahnya maka aku memutuskan menemui Munif terlebih dahulu. Aku memarkir mobilku di depan cafenya, aku melirik di jendela. Menatap cafe yang dinding dan pintunya dari kaca hingga terlihat kesibukan dari dalam sana, tak ada sosok Munif disana. Aku menunduk lesu, kemana anak itu? Aku mulai membuka pintu mobil, saat kakiku menyentuh aspal aku sedikit ragu. Dadaku berdebar, apa ya tanggapannya terhadapku untuk kejadian waktu itu? Aku terpaksa meninggalkannya saat bercumbu karena aku shock. Umm aku memantabkan hati untuk masuk, aku melangkahkan kaki ke dapur, Munif yang tadinya sibuk memasukkan kuah disenggol pelayannya pelan, Munif menatapku saat mendapat aba-aba.

Matanya berbinar, bibirnya ternganga kemudian sedikit tersenyum, "Ahaha.. Hei.. Akhirnya kau memunculkan diri juga.." sapanya dengan suara yang sangat senang.

Aku tersenyum tipis dan langsung memeluknya erat, aku menghirup aromanya yang harum bercampur keringat sehingga sangat sexy dan mencium pipinya sekilas.

"Maaf.." hanya itu yang mampu aku ucapkan, tubuhku bergetar hebat, mataku berkaca-kaca karena tak percaya akhirnya bisa melihatnya kembali. Aku sangat merindukannya.

"Never mind.. Banyak orang disini, ayo ikut aku ke ruanganku.." Munif merangkulku lembut, aku mengulum senyuman saat merasakan sentuhannya yang membuat jantungku berdenyut berkali-kali lipat karena lama tak menemuinya.

Dia menarikkan bangku untukku dan kami duduk berhadapan dengan meja menjadi penengah, "Well, bagaimana kabarmu selama ini?"

"Lu ngomong seolah gue ninggalin lu tahunan aja.." ucapku sambil memajukan bibirku.

Munif tersenyum, dia meraih tanganku, "Dua ratus tahun bagiku menunggu dua minggu itu.."

Aku tersipu. benar, Aku juga merasakan hal yang sama, rindu yang luar biasa dan meradang. "Lu gak marah Nif, gue tinggalin lu gitu aja waktu itu?"

Munif menggeleng lemah, "Justru aku merasa bersalah sudah menyentuhmu.. Gak seharusnya aku lancang.. Pasti kau shock, dan aku layak dijauhi. Tapi kau memaafkanku kan?"

"Lu gak salah Nif.. Munafik kalau gue bilang gue gak pengen, gue cuma bohongin diri gue sendiri aja.." aku menarik tangan Munif, meletakkannya di pipiku, hangat sekali.

Munif mencubit pipiku keras, "Jangan terlalu menghayati, ini masih terlalu terang untuk horny.."

Aku tertawa, "Lu ini.. Ah.."

Munif mengacak rambutku gemas. Aku merasa lebih akrab dengannya sekarang dibanding pertemuan pertama kami yang ribut-ributan dan dia sangat dingin. Sekarang, melihat senyum indahnya sudah menjadi makanan sehari-hari.

"Wah gue liat cafe lu makin hari makin laris aja.. Pake pelet apa lu?"

"Kampret ni anak haha.. Gak level pelet-peletan.. Menu baru aja nih nambah, ide dari anak-anak. Jadinya cafe ini lebih beragam, nano-nano special.."

"Wah ajarin dong masak.."

"Gayamu masak, rebus air aja gosong haha.." aku mengerucutkan bibir kesal saat Munif mengejekku. Dasar, menyebalkan.

"Nah itulah hebatnya gue.. Eniwei kok lu tau gue masak air aja gosong? Wah parah, jangan-jangan lu mata-matain gue? Atau lu punya indra ke enam.. No! Jangan-jangan gue bugil juga lu hintip.."

Bakso NANO NANOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang