SEMBILAN

1K 51 3
                                    

Dinda mengerjap-kerjapkan matanya, dimana ini? Batinnya.

"Sayang, Kamu ngga apa-apa?" Tanya Aruna sambil menggenggam lembut tangan Dinda.

Dinda berusaha untuk bangun, namun seluruh badannya terasa sakit.

"Aww!" Jeritnya.

"Apa yang sakit sayang?" Tanya Aruna khawatir.

"Kakiku..."

Aruna ingat, dokter bilang kaki Dinda patah.

"Ngga apa-apa sayang, Kamu istirahat aja ya!"

"Aruna, Om mau ke ruangan perawat dulu." Kata Om Pram ijin pamit.

"Iya Om."

"Mas, di mana Aku?" Tanya Dinda masih belum sepenuhnya sadar.

"Sayang, Kamu jangan terlalu banyak bicara ya..." kata Aruna.

Dinda kembali membaringkan diri. Seketika kepalanya pusing, beberapa adegan di mimpinya kembali berkelebat di ingatannya.

Pesawat berguncang hebat, seluruh penumpang panik, pramugari meminta penumpang untuk tenang dan tetap pada kursinya masing-masing dan mengenakan seat belt. Tiba-tiba pesawat menukik tajam, dan akhirnya terjun bebas. Dinda memegang tangan Ibunya yang berada di samping, mencoba menyalurkan sisa ketenangannya kepada sang Ibunda yang terlihat cemas. Akhirnya suara dentuman diikuti oleh benturan hebat mengakhiri ketegangan. Beberapa pramugari yang tak sempat duduk dan mengenakkan seat belt terlihat terjatuh dan tak sadarkan diri. Beberapa penumpang berjalan ke arah pintu dan berusaha membukanya, dibantu pramugara akhirnya pintu pesawat itupun sudah terbuka. Dengan sedikit berteriak karena microphone tidak berfungsi, salah seorang pramugari yang pelipisnya berdarah itu pun mempersilahkan penumpang untuk keluar secara tertib. Namun dikarenakan ada asap mengepul dari bagian ekor pesawat, menyebabkan penumpang panik dan berhamburan keluar dari pesawat.

"Bu, ayo cepat keluar!" Ajak Dinda sambil menarik tangan Ibunya.

"Ayah Din, Ayah mana?" Tanya Ibu panik.

Ayah memang duduk terpisah dari bangku Dinda dan Ibunya.

Dinda menengok kanan kiri depan belakang untuk melihat sosok Ayahnya, namun tak didapatinya.

"Mungkin Ayah udah keluar, Bu..."

Ibu masih melihat sekeliling, Dinda menarik tangan Ibu untuk segera keluar.

Tiba-tiba tubuh Dinda tersenggol seseorang, Ia pun jatuh tersungkur. Dinda merasakan badannya terinjak, sakit, berat dan sesak.

Asap semakin mengepul tebal menghalangi pandangan.

"Api! Api! Api!" Teriak seseorang semakin membuat suasana gaduh.

Di bawah, Dinda sudah pasrah dengan apa yang terjadi. Untuk bangun pun Ia tak sanggup, apalagi menyelamatkan diri. Mungkin ini saatnya...

Dilihatnya sang Ibu yang walau terhalang asap tebal, masih terlihat jelas. Ibu menggapai-gapaikan tangannya untuk menolong Dinda bangun yang hampir tak sadarkan diri karena terlalu banyak mengalami cedera dikarenakan terinjak.

Dinda mengulurkan tangannya, tersentuh sedikit jemari tangan Ibu, namun Ibu tersungkur tak jauh dari tempat Dinda terjatuh.

Dinda tersenyum, Ia dapat melihat wajah Ibunya mungkin untuk yang terakhir kali. Ia bersyukur Ibu terjatuh di kolong bangku penumpang, membuat Ibu tak terinjak-injak seperti dirinya.

Dalam keriuhan, Dinda masih sanggup mendengar ucapan Ibu.

"Kamu pasti selamat, Kamu harus kuat!"

Dinda melihat Ibu berusaha bangkit, namun tiba-tiba tubuhnya menjauh dari sosok Ibu. Ada seseorang yang membopongnya, membantunya untuk segera keluar dari pesawat.

Tangan Dinda berusaha menggapai-gapai bayangan Ibu yang semakin menghilang. Pandangannya silau oleh cahaya matahari dari luar yang terik. Mungkin Ia hampir sampai di pintu pesawat. Namun, tiba-tiba terdengar suara ledakan keras yang memekakan telinga. Membuat tubuh Dinda terpental keluar dan Ia tak ingat apa-apa lagi.

"Ibu mana? Ayah mana?" Tanya Dinda khawatir, ketika lamunannya selesai.

Aruna terdiam, Ia tak tau harus berkata apa. Harus jujur, bohong ataukah diam.

"Mas, jawab!"

"Ibu ..."

Pintu terbuka, seorang dokter obgyn dan beberapa perawat datang, dan diikuti Om Pram dibelakang petugas medis tersebut.

Aruna bernafas lega, setidaknya Ia bisa menunda jawabannya.

Dokter kembali memeriksa keadaan Dinda dan kandungannya.

"Pasien sudah saya berikan suntikan suplemen penguat kandungan." Jika terjadi apa-apa langsung hubungi pos perawat ya!" Ucap dokter.

Aruna mengangguk.

Kandungan? Dinda teringat sesuatu, di dalam pesawat Ia terinjak dalam posisi telungkup, bagaimana keadaan kandungannya?

"Mas, bayiku?" Tanya Dinda.

Aruna tersenyum, "dia selamat, sehat. Kamu ngga usah khawatir ya!"

Dinda mengangguk lega.

"Om, Ibu sama Ayah ada di ruangan mana? Satu rumah sakit sama Dinda kan Om?" Tanya Dinda.

Sama halnya seperti Aruna, Om Pram tak tau harus berkata apa.

"Dinda... sebaiknya Kamu istirahat, biar kondisimu cepat pulih."

"Om, jawab pertanyaan Dinda!" Ucap Dinda tegas.

Om pram menarik nafas panjang, cepat atau lambat Dinda pun akan tau kenyataan ini.

"Dinda ... orangtuamu kini sudah tenang. Kita doakan saja ya!" Ucap Om Pram.

"Maksud Om?"

"Ibu dan Ayah Kamu sudah meninggal dunia..." Ucap Om Pram lirih, nyaris tak terdengar.

Dinda termangu, apakah karena suara dentuman ledakan pesawat membuat pendengarannya terganggu? Atau ini masih mimpi? Dinda berandai-andai.

Aruna memeluk tubuh Dinda yang terpaku, Ia tak bereaksi membuat Aruna semakin khawatir.

Dinda menggeleng, lalu tertawa tak jelas. Menertawai nasibnya yang mendadak menjadi yatim piatu.

Dinda meronta dalam pelukan Aruna, sekuat tenaga Aruna menahannya. Dinda menjerit tak terima, Aruna bersedih dengan kondisi Dinda.

"Om bercanda ..."

"Din ... tenangkan dirimu!"

"Nggak! Om bercanda kan? Ngga lucu Om! Hal seperti itu bukan untuk dijadikan bahan candaan!!!" Dinda masih histeris, Ia masih meronta.

Kali ini Aruna lengah, Dinda berhasil lepas. Ia berusaha mencabut jarum infus yang menancap di punggung tangannya.

"Om panggil perawat!" Pinta Aruna.

Om Pram segera keluar, sesaat kemudian terlihat seorang dokter jaga dan dua orang perawat.

Dinda kembali melemah ketika mendapatkan suntikan berisi obat penenang. Ia lemas, matanya terasa berat.

Aruna mengeratkan pelukannya, diciuminya pucuk kepala Dinda. Ia tak tega melihat kondisi Dinda seperti ini.

ADINDA (BOOK 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang