SEPULUH

971 55 1
                                    

Dinda kini dirawat di rumah sakit di daerah Bandung, untuk memudahkan Aruna dan keluarganya yang lain saling bergantian menjaga Dinda, orangtua Dinda pun sudah dimakamkan beberapa hari yang lalu di taman pemakaman keluarga.

Dinda sudah tak sehisteris dulu, ketika awal Ia mengetahui orangtuanya meninggal. Namun, kini sikapnya berubah. Ia lebih banyak diam.

Kini, orangtua Aruna datang berkunjung sambil membawakan makanan.

"Bagaimana keadaan Dinda?" Tanya Mama begitu melihat Dinda sedang tertidur.

"Lukanya sudah mulai membaik, dan ternyata kakinya tidak patah hanya ada sedikit tulang yang bergeser, cuma ... psikis Dinda belum membaik."

"Sabar ... Dinda butuh waktu untuk menerima."

Aruna mengangguk.

"Aruna pulang sebentar ya Ma, titip Dinda."

Mama mengangguk sambil mengelus tangan Aruna.

Aruna pun segera menuju tempat dimana mobilnya terparkir, kemudian Ia melajukan mobilnya menuju kafe.

"Gimana istri Lo?" Tanya Hana.

"Membaik, besok udah boleh pulang." Jawab Aruna.

"Lo ngga pulang ke rumah?"

Aruna menggeleng, semenjak Dinda di rumah sakit, Ia memang tidak pernah pulang. Entah kenapa Ia merasa hampa, Ia merindukan Dinda yang ceria seperti dulu.

"Nih makan!" Hana memberikan semangkuk mi instan.

"Apa nih?"

"Lo ngga tau? Yang panjang keriting gini namanya mi."

"Ya tau ... maksudnya buat apa?"

"Lo jadi bego ya akhir-akhir ini! Buat dimakan lah ... liat tuh, badan Lo kurus kering begitu."

"Lagi ngga pengen, bikinin Gue espreso aja!"

Hana menggelengkan kepalanya. "Jangan kebanyakan minum kopi Ar, ngga bagus buat kesehatan Lo." Meski berkata begitu, Hana tetap meminta rekan kerjanya untuk membuatkan pesanan Aruna.

"Ada apa? Ada yang mau diceritain?" tanya Hana.

Aruna sejenak terdiam, "Gue mau tanya, apa yang Lo pikirin waktu tau  Papa Lo meninggal?" Tanya Aruna.

Hana terdiam.

"Hmm ... sorry, Gue ngga bermaksud ngungkit hal itu, lupain!"

"Yang Gue pikirin adalah, gimana nasib Gue, gimana sekolah Gue, apakah Nyokap Gue bakal nyari Papa baru ya pokoknya banyak lah, pikiram-pikiran khas anak kecil."

"Sedih?"

Hana menggeleng, "jujur, ngga. Mungkin karena waktu itu Gue masih kecil dan Gue deketnya sama nyokap. Kenapa? Lo khawatirin istri Lo?"

Aruna mengangguk, "Dinda berubah banget, Seperti bukan yang Gue kenal. Dia banyak diam, malah waktu awal-awal dia histeris, emosinya nggak kekontrol. Gue sedih liatnya."

"Mungkin belum menerima keadaan."

"Gue khawatir dia stres. Anak Gue bakal kenapa-kenapa kalau dia stres."

"Wait, anak?"

Aruna mengangguk. "Dinda lagi hamil."

Tak ada respon dari Hana, entah kenapa perkataan Aruna barusan terasa sumbang di telinganya.

"Han ..."

"Lo salah kalau konsul kesini, lebih baik Lo konsul ke rumah sakit jiwa."

"Maksud Lo?"

ADINDA (BOOK 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang