ENAM BELAS

692 51 3
                                    

Dinda terbangun dari tidurnya, ia menengadah ke arah jam. Baru pukul tiga pagi, ia berniat mendirikan shalat tahajud, segera ia bangun dari tidurnya.

Sudah seminggu Aruna tidak pulang, suaminya itu sibuk dengan urusan bisnisnya bersama Papa, seharusnya siang ini Aruna dijadwalkan pulang.

Dinda teringat, tadi sore ketika membeli makan malamnya ia sempat ke apotek untuk membeli testpack. Haidnya sudah telat sekitar sepuluh hari, badannya pun akhir-akhir ini tak enak. Ia sangat yakin bahwa ada penghuni di dalam rahimnya.

Segera ia mengambil testpack dari dalam laci, ia pun bergegas menuju kamar mandi.

Hatinya berdebar ketika membuka plastik testpack, ia pun mengambil tabung penampung urin.

Namun, hatinya perih bagai teriris sembilu ketika melihat darah di celana dalamnya. Ia mendapatkan haid.

***

Aruna sedang bersiap-siap meninggalkan hotel, ia membereskan pakaiannya ke dalam tas slempang yang dibawanya.

Ponselnya berbunyi.

"Una, makan dulu ke bawah yuk!" ajak Papa.

"Duluan aja, Pa! Una mau angkat telepon dari Dinda dulu," ucap Aruna

"Ya udah."

Papa segera meninggalkan kamar, Aruna menggeser tombol answer.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, Mas," jawab Dinda sambil terisak.

"Loh, sayang kenapa?" tanya Aruna khawatir.

Tak ada jawaban dari Dinda, hanya suara isak tangis yang makin menjadi.

"Sayang ... aku pulang kok siang ini, jangan khawatir ya!"

"Mas, aku kangen..."

Aruna mengulum senyumnya, manis sekali istrinya ini.

"Kapan pulang?" tanya Dinda.

"Sore ini, sayang ... mau dibawain apa?"

"Nggak usah, ya udah aku nanti masak ya! Jangan makan di luar."

"Oke."

Telepon terputus.

Dinda pasti sedang mendapat tamu bulanannya, memang sudah biasa emosinya tak terkendali ketika masa haidnya.

***

"Aruna mana Pa?" tanya Hana ketika menyusul Papa ke resto hotel.

"Masih di kamar, katanya nanti nyusul, terima telepon dari Dinda dulu," jawab Papa.

"Diteleponin mulu! Ngga siang, sore, malem, pagi, Dinda ngga tau apa kalau suaminya itu lagi kerja?"

"Ya wajarlah namanya juga suami istri, harus saling jaga komunikasi."

Hana tidak memberikan respons.

"Kamu kapan bawa calonmu ke Papa dan Mama?" tanya Papa.

"Hana belum punya calon Pa."

"Ah, masa?"

Hana lagi-lagi tak merespons, ia memilih menyuap makanannya dengan tak selera.

Kepinginnya sih calonnya tuh anakmu, Pa! batin Hana.

Tak lama, Aruna datang menyusul untuk sarapan.

***

Demi menghibur hatinya yang sedang gundah gulana, Dinda membuka sosial media pribadinya.

Ia melihat-lihat postingan teman-temannya di tempat kerjanya yang lama, sepertinya mereka sedang jalan-jalan. Di kantornya, tiap tahun memang selalu mengadakan trip untuk seluruh pegawai guna menghilangkan kepenenatan selama bekerja.

Andai dulu ngga resign, mungkin ikut jalan juga. Ngga bete kayak sekarang. Batin Dinda.

Terlihat foto Ardo bersama istri dan anaknya-Maudy, Dinda tersenyum miris, bisa-bisanya dulu ia sempat menaruh hati lagi kepada mantan kekasihnya yang telah berkeluarga itu.

Dinda buru-buru meletakan ponselnya di atas nakas, ia harus segera bersiap-siap berbelanja.

***

Pukul satu siang, Dinda baru menyelesaikan semua tugas rumah tangganya. Mulai dari menyapu, mengepel, mencuci pakaian yang berhari-hari tak sempat ia sentuh, mencuci piring, dan tentu saja memasak untuk suami tercinta.

Sup ayam bagian paha bawah, perkedel kentang, acar mentimun, serta kerupuk udang tak boleh ketinggalan.

Dinda sejenak merebahkan diri, barusan Aruna baru mengabarkan baru sampai di Bandar udara internasional Juanda, jika tidak berhalangan berarti sekitar satu jam lagi Aruna sudah sampai di Bandara Husain Sastranegara.

Ia harus bergegas mandi agar ketika sang suami pulang, tidak tercium bau dapur. Baru saja Dinda mengambil handuk, tiba-tiba terdengar suara pagar di buka. Dinda berjalan ke arah pintu depan.

Semakin dekat dengan pintu, terdengar suara seseorang berusaha membuka kunci, jantung Dinda semakin berdegup kencang. Apakah ada seseorang yang berusaha memasuki rumahnya.

Dinda menyambar sapu yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri dengan waspada. Benar saja, pintu terbuka dan Dinda sudah siap mengayunkan sapu kepada penyusup itu.

"Eh, tunggu!"

Untung saja Dinda masih menahan gerakannya untuk memukul sang penyusup yang ternyata Aruna.

"Loh? Mas, bukannya masih di Surabaya?" tanya Dinda keheranan.

"Kamu ini, tadi pagi nangis-nangis bilang kangen, sekarang aku udah pulang malah mau dipukul sapu."

Dinda menyimpan sapu dan memasang tampang tak enak.

"Tadi Mas kan baru ngabarin masih di Juanda, kok cepet banget? Pake pintu Doraemon?"

"Itu pesan berapa jam yang lalu, sayang ...."

"Eh, emang kapan Mas kirim pesan? Aku baru baca tadi, sibuk di dapur." Dinda meraih tas Aruna yang masih dipegang suaminya itu untuk disimpan.

Aruna mengacak rambut Dinda yang berantakan, "Iya, tau kok. Kecium bau dapur."

Dinda mengendus kerah bajunya. "Kecium banget ya? Ya udah aku mandi dulu kalau gitu."

Aruna menahan tangan Dinda yang mendahuluinya, Dinda menoleh ke belakang.

"Aku suka kok aroma kamu, bikin lapar."

Dinda menautkan alisnya.

"Bobo siang dulu yuk! Seminggu kita  enggak ketemu, nggak kangen apa?" tanya Aruma sambil menuntun Dinda menuju ke kamar.

"Eh, Mas tunggu! Aku mandi dulu, bau tau."

"Ngga usah."

Dengan cepat Aruna membuka pintu kamar dan menutupnya kembali.

Di dalam kamar, terdengar suara Dinda menjerit.

"Eh, Mas! Aku lagi dapet!"

Bersambung ....

Demi memuaskan readers, akhirnya up juga kan.
Ternyata komen pembaca ngaruh banget sama mood loh, bisa bikin penulis semangat buat lanjut cerita.
Masih setia baca kisahnya Dinda-Aruna kan?
Ini baru pemanasan, masih manis-manis manja, belum muncul konflik, edisi kangen-kangenan lah.
Aku gak janji bakal up cepet, cerita yang on going ada 3
CLBK, My Dearest Friend, sama Adinda.
Aku usahain up seminggu sekali untuk Ayana-Rei karena udah nulis sampe part 8, Key-Vano juga seminggu sekali kalau sanggup bakal double update di minggu ini, kalau Dinda-Aruna semampunya aja ya 😂😆

ADINDA (BOOK 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang