"Kau sudah mempersiapkan segalanya?"
"Sudah."
"Hmm...."
Aku memperhatikan sebuah koper yang tergeletak didepanku. Yah. Aku baru saja membantu Junkai berkemas kemas untuk kepergiannya ke Luxemburg tiga jam kedepan.
Untuk apa?
Yah, secara, aku pernah memberitahu kalian jika dia seorang dokter professional di segala bidang, 'kan? Jadi, dia telah diundang untuk menghadiri sebuah acara pelatihan sekaligus pelantikkan di sebuah negara yang terkenal akan sistem kesehatannya yang sangat bagus, dan, canggih. Tentu saja, itu sebuah kehormatan besar bagi siapapun dokter di dunia ini jika diundang untuk mengikuti pelatihan disana. Dan, Junkai berhak menerimanya. Namanya akan dipasang di
Itu merupakan hal yang terhormat.
"Kau yakin bisa tinggal sendirian?"
"Awal-awal menikah aku tinggal sendiri karena kau yang terlalu sibuk." jawabku sambil tersenyum. Aku melipat kedua tanganku, seakan baru saja meraih kemenangan—berhasil membuat pria didepanku saat ini kalah telak.
Junkai hanya tertawa, kemudian mengulas senyuman tipis. Ia mencubit pipiku gemas. "Itu hanya siang hari, baby. Setiap malam, aku pulang kerumah."
Aku tertawa sekaligus merengut ketika pipiku dicubit oleh Junkai. Well, yeah, aku sedang tahap program 'penirusan pipi'. Bisa bisa pipiku semakin lebar karena terus-terusan dicubit oleh Junkai—bukan itu saja sih pengaruhnya, aku terlalu banyak ngemil. Anehnya, yang semakin mengalami pelebaran wilayah itu hanya pipiku, bukan badanku. Itu yang membuatku kesal.
"Ah, jangan mencubit pipiku lagi. Dia sensitif. Harus berapa kali ku bilang?" gerutuku, sambil mengelus pipiku sendiri.
Junkai hanya tertawa kemudian mengambil barang-barangnya. Ia mengambil handphone dan jaketnya yang terletak di meja ruang tamu. Lalu, memakai jaketnya. Setelah itu, Junkai berjalan kearahku dan melebarkan tangannya.
"Pelukkan perpisahan?" tawarnya sambil tersenyum, entah senyuman apa. Yang pasti, menurut analisaku, senyumannya itu mengandung unsur flirting. Yah, aku yakin itu. Aku hanya mengerucutkan bibirku, walaupun di dalam hatiku merasa berdebar. Jangan bilang, Junkai akan melakukan lagi aksi cheesy nya seperti yang biasa dia lakukan.
"Kita tidak punya banyak waktu. Cepat persiapkan dirimu, kau tidak ingin ketinggalan pesawat kan?" ucapku sambil tersenyum. Aku berjalan mendekatinya, kemudian menepuk pipinya pelan. Setelah itu, aku menarik koper Junkai kearah teras. Namun, sebelum aku ingin melangkahkan kakiku, Junkai justru menahanku. Dia melingkarkan tangannya di pinggangku, dan menyandarkan kepalanya di pundakku—anak ini sedang bermanja-manja, heh?
Tentu saja, siapa yang tidak memerah dan serangan jantung mendadak jika diperlakukan seperti itu oleh seorang pria, meskipun dia adalah suamimu sendiri? Hey, itu aku.
Seharusnya, aku sudah terbiasa dengan sikap Junkai yang seperti ini.
"Kau yakin tidak ingin pelukkan perpisahan dulu, hm?" tanya Junkai, ia berbisik di telingaku. Membuatku sedikit merinding karenanya.
"Ketika kau tiba di bandara, aku akan memberikan salam perpisahan." ucapku. "Sekarang, lepaskan, oke?" ucapku sambil menoleh kearah Junkai, mengulas senyuman manis—seperti sedang membujuk seorang anak kecil. Well, hei, ngomong-ngomong, Junkai juga bukan anak kecil lagi. Dia itu om-om mesum.
"Aku ingin sekarang dan di bandara." ucap Junkai justru semakin mengeratkan pelukannya. Ia menyandarkan dagunya di pundakku, menolehkan wajahnya untuk memandangku, dan sebuah senyuman tipis menghiasi wajahnya yang seperti porselen itu, meskipun sedikit tertutupi oleh rambutnya, karena rambutnya berantakkan.
![](https://img.wattpad.com/cover/97403022-288-k218390.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Coldest Doctor [TFBOYSWJK]
Fanfiction"Kau itu sangat dingin, tapi menyebalkan disaat waktu yang bersamaan. Kau aneh. Benar-benar aneh. Menjadi dokter dengan sikap yang acuh seperti itu. ....Namun, ternyata, aku salah." . Huang Minzi, harus memulai karier awalnya sebagai dokter dengan...