BAGIAN 17

66 9 4
                                    

Gue bukan lagi sebuah permainan yang menjadi bahan olokan.

°°°

"lo udah bikin gue terbang dengan seribu sayap, tapi hanya sekejap. Kalau gue bisa memilih, lebih baik gue gak pernah ngerasain kebahagiaan itu," Ucap Alice sambil mendorong Rey dengan jari telunjuknya.

"Kasih gue waktu buat jelasin semua ini lice, gue juga manusia, gue gak sempurna," Ucap Rey sedikit meminta, "izinin gue bicara ya?"

"Perlu? Gue rasa gak ada lagi yang harus kita perbincangkan, mulai sekarang anggap diantara lo sama gue gak pernah ada 'kita'! " Alice pergi meninggalkan Rey yang melemas dan ambruk di sana.

*

"Gue mau kita ketemu," Ucap seseorang di balik telfon, suaranya terdengar sedikit serak, persis seperti orang yang habis menangis.

Alice sedikit berfikir, bertemu dengan orang yang tidak ia suka bukanlah hal yang tepat untuk saat ini, karena suasana hatinya yang sedang kacau.

"Gue cuma mau meluruskan suatu hal!" Lagi, seseorang yang sangat ngotot karena terdengar dari nada bicaranya lebih meyakinkan.

Alice menghela nafasnya, sudah seharusnya dia menyelesaikan permasalahan ini satu persatu bukan malah menjauh dan meninggalkannya.

"Jam 8, di kafe raflesia" Ucap Alice dingin lalu mematikan telfonnya sepihak, karena dia rasa perbincangannya sudah selesai dan tidak ada lagi yang perlu di bicarakan.

Selang beberapa menit, ponselnya berdering dengan rasa malas yang sangat besar Alice membuka notip pesan yang baru saja datang di ponselnya.

Jangan libatkan siapapun saat kita bertemu nanti!

"Memangnya siapa yang mau membawa orang? Dikira gue tuan putri yang harus dua puluh empat jam di jaga bodyguard?" Alice terlihat sedikit lebih sensitif sekarang, mungkin karena suasana hatinya yang memang benar sedang mendung.

Terkadang kita harus tahu perasaan payung saat kemarau, perasaan kertas saat hujan, perasaan pensil saat ada pulpen.

Semuanya begitu tidak di inginkan, jika bukan pada porsinya. Betul? Sama dengan perasaan, akan tetap tersakiti jika bukan pada bagiannya.

Beberpa jam lagi, Alice akan bertemu dengan Rani, entah kenapa perasaannya kini sedikit lebih gugup dari sebelumnya, padahal Rani dengannya sama-sama makan nasi. Bukan besi.

Alice melihat pantulan dirinya di depan cermin, not bad. Alice cantik, bibirnya yang tipis, pipinya yang sedikit chubby, hidung yang tidak terlalu mancung dan rambut yang di biarkan terurai. Alice cantik. Tidak ada yang pernah berkata wanita tampan kan?

Kali ini Alice harus memikirkan beribu argumen, karena dia yakin kalau Rani akan memberikannya pertanyaan yang membuat dia terdesak dan akhirnya kalah dalam perdebatan. Tapi, kali ini Alice harus menyiapkan dengan matang, seperti materi presentasi, dan bertemu guru killer. Sudah lah ini hanya ujian kehidupan bukan ujian pelajaran!

Alice menghela nafasnya panjang, dia mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam kafe, matanya menyusuri setiap celah di kafe tersebut, sampai tatapannya terhenti pada sosok perempuan yang tak kalah gantinya dengan Alice.

Alice [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang