Melodi Kedua : Bahasa yang Sulit Dimengerti

55 1 0
                                    

Melodi Keajaiban

Dita Chun © 2013

*

*

*

*

*

Melodi Kedua :

Bahasa yang Sulit Dimengerti

              Melodi termenung memandang senja dari balik jendela. Kedua matanya mengabsen satu persatu pemandangan yang biasa dijumpainya setiap sore menjelang malam seperti saat ini. Matahari semakin condong ke barat, mega merah kian mendominasi langit, suhu udara turun pelan-pelan, dan burung-burung terbang kembali menuju sarang. Semua itu menjadi pemandangan biasa di mata Melodi.

              Ia bersyukur bahwa Tuhan masih mengizinkan kedua matanya berfungsi dengan baik. Kedua mata yang membuatnya mampu melihat indahnya senja setiap pergantian terang dan gelap. Kedua mata yang membuatnya mengerti bahasa manusia yang tidak mampu ia dengar lewat telinga. Jika kedua mata itu juga tidak ada padanya, ia tidak mampu membayangkan betapa mengerikannya hidup yang akan dijalaninya.

              Denting piano mengalun dari ruang di sisi kiri. Melodi tampak terusik. Sungguh ajaib memang ketika seorang seperti Melodi tidak mampu mendengar denting-denting tuts piano, kedua kakinya masih mampu merasakan getaran dari bunyi piano tersebut. Lantai kayu yang mengantarkan getaran halus itu dari kaki piano menuju kakinya. Sejak kepulangan ibunya dari Jepang rumah mereka dirombak menjadi sedemikian rupa, sehingga interior dalam rumah berukuran minimalis itu tampak seperti apa yang dilihat ibunya di Jepang. Jika itu lantai keramik, mungkin Melodi tidak akan merasakannya. Tapi, lantai kayu itu berbeda. Mereka jauh lebih mudah bergetar ketika bertumbukan dengan benda-benda keras, sehingga Melodi jauh lebih cepat merasakan adanya gerakan asing yang mengalir dari satu bagian menuju bagian lain di rumah itu.

              Gadis kecil itu meninggalkan jendela yang memisahkannya dengan dunia luar. Ia berlari menuju asal getaran yang sangat dikenalinya. Getaran konstan, teratur, itu pasti piano,batinnya.

              Sampai di ruang tamu pandangannya menangkap sosok wanita berusia tiga puluhan duduk di atas kursi berwarna cokelat di depan tuts piano. Melodi sangat mengenalinya, itu ibunya. Piano yang tengah dimainkan itu jenis klasik dengan warna putih yang mulai memudar. Sudah sangat lama, begitulah piano itu menjelaskan dalam diam. Meski warna putihnya tak lagi cerah, benda setinggi satu meter itu masih tampak bersih, lebih terawat dari apa yang seharusnya tampak di usianya yang lebih muda sepuluh tahun dari pemainnya.

              Sejenak Melodi diam mendapati sang ibu sedang asyik berkutat dengan tarian jemarinya di atas tuts. Tiba-tiba sebuah ide jahil Melodi muncul. Gadis itu berlari mendekat ke arah piano. Ketika tubuh mungilnya sampai di samping ibunya, ia mengarahkan telunjuk kanannya di atas tuts putih di hadapannya. Tidak cukup sekali, ia melakukannya hampir lebih dari empat bar paranada. Alunan melodi Für Elise besutan pianis ternama, Ludwig van Beethoven, yang telah diaransemen ulang pecah seketika. Konsentrasi ibu buyar akibat ulah Melodi. Meski ini bukan yang pertama kali, ibu mencoba mengabaikan, membiarkan jari-jari mungil Melodi mengusik harmoni dengan not di luar naskah aransemen. Lambat laun tempo nada yang semula stabil itu kian tak terkendali, kadang makin cepat dan kadang melambat. Melodi tersenyum puas menyadari konsentrasi ibunya mulai berantakan dan sebentar lagi ibunya pasti akan segera berhenti bermain.

Melodi KeajaibanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang