Different 7

956 77 12
                                    

Di rumah besar nan mewah berlantai tiga, tampak lelaki berumur sekitar 50 tahun, pemilik rumah itu, memandang anaknya yang mengenakan seragam putih abu-abu baru saja pulang, pukul sembilan malam. Rahangnya mengeras. Dia mengepalkan tangan kuat kemudian menghampirinya. Anaknya itu benar-benar sudah membuatnya geram.

"Dasar anak nggak tahu diri. Kamu dari mana lagi, HAH! keluyuran ke sana kemari, nggak jelas. Sudah mirip binatang kamu. Banggain orang tua saja tidak. Mau jadi apa kamu?" cerocos Lelaki itu. Dia berucap dengan menggebu-gebu.

Anak itu hanya melirik Papanya sejenak, tak memedulikannya, lalu kembali berjalan. Dia malas meladeni orang tua itu. Banyak maunya.

"RAFA! Papa ngomong sama kamu." Lelaki itu berjalan cepat ke hadapan Rafa, setelahnya dia langsung menarik kerah baju Rafa, sehingga jarak antara keduanya sangat dekat. Rafa menatap tajam Ayahnya.

"Iya, gue dari keluyuran. Emang kenapa?" Rafa menjawab dengan nada solot.

Bugh ...

Satu tinjuan keras mendarat di pipi mulus Rafa, membuat pipinya menjadi biru, "Jaga ucapanmu sialan. Jangan cuma nyusahin Papa terus. Kamu harus pikir dengan otak buntumu itu, kalau Papa itu capek besarin kamu. Papa selalu biayai hidup kamu, tapi apa feedbacknya? Tidak ada sama sekali. Kamu malah ngebalas Papa dengan kelakuanmu yang brandal ini? Contoh Kakak kamu. Dia banggain Papa, punya prestasi banyak, rajin, nggak pernah keluyuran. Sedangkan kamu apa? Nggak ada!"

"Gue muak sama lo. Selalu dia, dia, dia terus yang lo banggain. Lo nggak pernah ngelirik gue sekali pun. Gue capek, Pa. Gue capek, dengan peraturan setan lo itu. Semua yang lo perintahin ke gue nyiksa gue. Gue nggak bisa nurutin lo. Maaf!" setelah mengucapkan itu, dia pergi tanpa mau mendengar balasan Papanya.

Rafa menarik rambutnya kasar. Rasa sakit menjalar di sana. Bibirnya terbuka dan mengeluarkan erangan kesakitan. Ingatannya kembali pada masa kelamnya. Masa yang sebenarnya dia tidak ingin mengenangnya, tapi apalah daya tubuhnya tak bisa dia kendalikan. Ingatan itu muncul tiba-tiba, dan saat itu juga kepalanya terasa terlempar batu besar. Sangat sakit.

Dia mengepalkan tangannya erat. Sebuah masa yang tidak akan pernah dilupakannya. Setiap hari dia memikirkan kejadian itu, dan setiap hari pula kepalanya terus berdenyut sakit, tetapi hatinya lebih sakit ketimbang rasa sakit yang selalu dialaminya. Itu memang masa kelamnya. Semua yang orang lihat dari dirinya diluar, semua berbeda. Semuanya hanya topeng belaka. Semua kegaduhan yang dia lakukan mempunyai alasan yang kuat. Dia begini karena sudah capek dengan keluarganya. Keluarga yang sebenarnya dia sayangi, tetapi karena keegoisan masing-masing membuat mereka tidak saling merangkul.

Terutama Ayahnya, lima bulan yang lalu beliau sudah meninggal. Meninggal karena kecelakaan pesawat yang tak diduga. Beliau meninggal ketika mengunjungi seseorang yang sangat Rafa benci. Seseorang yang sudah merebut semuanya. Seseorang yang membuat Ayahnya berubah. Seseorang itu bukan orang jauh, tetapi keluarga Rafa sendiri, yaitu kakaknya.

Dia meminta satu botol lagi wine kepada pelayan bar dihadapannya.

Ekspresi pelayan itu tampak khawatir, "Tapi tuan, anda sudah meminum lebih dari sepuluh botol. Saya takut terjadi apa-apa dengan tuan." pelayan ini memang berbeda dari pelayan yang lain. Setiap hari dia yang selalu melayani Rafa. Pelayan itu sudah hapal semua pelanggannya. Ketika melihat muka masam Rafa saat memasuki tempat itu, dia tahu Rafa kesini untuk menghilangkan rasa stress yang dialaminya. Dan dia juga tahu ada masalah yang sangat berat yang dialami pemuda tersebut.

DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang