"Tapi Umi, Tika nggak mau pindah dari sana." ucapnya dengan nada penuh tekanan. Gadis ini menolak mentah-mentah apa yang Uminya usulkan sebelumnya. Ketika dia selesai makan malam, Uminya memanggilnya. Dia berpikir jika Uminya memintanya untuk memijatnya, tapi ternyata hal yang tak terduga terdengar di telinganya. Uminya mengatakan jika dirinya tidak bisa lagi melanjutkan sekolahnya di pesantren.
"Tapi nak, lihat kondisimu! Kamu sakit, dan Umi lihat kamu nggak bisa tinggal di sana tanpa perawatan yang baik, toh kamu juga selalu bolak balik rumah sakit karena penyakitmu ini." Uminya membalasnya dengan lembut, tangannya mengelus rambut anaknya dengan penuh kasih sayang.
Atikah memeluk Uminya erat, "Umi tahu 'kan kalau Tika di sana udah bahagia banget, Tika udah dapat keluarga baru, Tika di sana diajarkan dengan baik, semua gurunya sayang sama Tika. Aku mohon Umi Tika nggak bisa ninggalin pesantren itu."
Uminya menghembuskan dapas kuat sambil memejamkan mata, "InshaAllah nak, ini pasti jalan yang terbaik. Maafin Umi, tapi Umi nggak bisa ngabulin apa yang kamu mau. Umi sayang sama kamu. Kamu anak perempuan Umi satu satunya. Bukannya Umi nggak mau kalau kamu belajar agama yang banyak di sana, tapi Umi selalu merasa nggak enak ninggalin kamu yang selalu sakit. Lagian Abi kamu juga 'kan bisa ngajarin kamu sama seperti di pesantren."
Atikah melepaskan pelukan Uminya, "Tapi itukan beda Umi."
"Udah deh Tika, turutin aja apa yang Umi katakan, itukan untuk kebaikan kamu juga." Kakaknya tiba tiba datang dengan pakaian kokohnya lengkap.
Tika melirik ke kakaknya, "Ih, kakak bukannya ngebela malah dukung Umi."
"Atikah sayang, kalau kamu jadi Umi, pasti kamu bakalan ngelakuin hal yang sama. Jangan jadi anak durhaka deh! Masa untuk kebahagiaan kamu, permintaan Umi nggak kamu kabulin. Ingat loh ada suatu hadis yang mengatakan
"Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kamu, durhaka pada ibu dan menolak kewajiban, dan minta yang bukan haknya, dan membunuh anak hidup-hidup, dan Allah membenci padamu banyak bicara, dan banyak bertanya demikian pula memboroskan harta (menghamburkan kekayaan)" [Hadits Riwayat Bukhari (Fathul Baari 10/405 No. 5975) Muslim No. 1715 912." Fahri mendekat. Ia mengacak rambut adiknya."Ih, apaan sih." Tika manyun. Kesal terhadap tindakan Kakaknya. Dia merapikan kembali rambutnya.
"Umi, Kakak ke mesjid dulu mau sholat isya. Assalamu'alaikum." Setelah mencium tangan Uminya Fahri melangkah pergi menuju rumah Allah.
"Yaudah deh, Umi. Tika pindah aja. Nggak papa ini untuk Umi, Tika ikhlas."
Uminya menoleh ke arah Tika dan tersenyum, "Beneran kamu ikhlas? Tapi kok tampangnya seperti terpaksa? Senyum dong anak Umi yang paling cantik." Uminya menoel hidung mancung Atikah.
Atikah pun tersenyum dan memeluk Uminya, "Tika beneran, Mi. Maafin Tika, Tika tadi nolak Umi. Tika sadar jika Umi ngelakuin ini semua karena Umi sayang sama Tika, dan ngelakuin hal yang benar sama kayak yang Kakak katakan tadi. Maafin Tika juga Umi mungkin kata kata Tika seperti ngebentak Umi. Aku bener-bener minta maaf. Aku nggak mau durhaka sama Umi. Maafin Tika. Tika nyesel."
Uminya tersenyum dia mengelus rambut panjang anaknya. Kebiasaan Atikah jika melakukan kesalahan, bahkan jika tidak melakukan kesalahan. Dia selalu meminta maaf, Uminya tahu jika suaminya selalu mengatakan kepada anak-anaknya jika "memaafkan itu mulia dan minta maaf itu kesatria". Dia sangat bersyukur mempunyai keturunan yang sholeh dan sholehah.
"Yaudah besok Umi urusin yah, perihal kepindahan kamu. Lusanya InshaAllah kamu udah bisa sekolah di sekolah barumu."
Atikah mengangguk. Dia ikhlas merelakan kesenangannya hanya untuk Uminya tercinta walaupun awalnya dia menolak, tapi dia sadar jika dia salah. Umi menginginkan hal yang terbaik untuk dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Different
SpiritualSemua berawal ketika Atikah pindah dari pesantren ke sekolah biasa karena suatu alasan Uminya. Di sana dia bertemu dengannya. Sosok yang Atikah pertama kali lihat ketika masuk ke sekolah barunya. Bagi Atikah cowok tersebut adalah ladang dosanya. Cow...