Bugh! Bugh! Bugh!
Suara pukulan saling saut-menyaut, kedua laki-laki berseragam putih abu-abu terus memberikan pukulan kepada lawannya. Masing-masing dari mereka tidak ingin dikalah. Mereka ingin lawannya merasakan sakit yang lebih dari apa yang dia rasakan. Peristiwa ini terjadi di lapangan basket, para siswa ikut menonton mengelilingi mereka, dan meneriaki nama jagoannya. Kejadian ini selalu saja berlangsung setiap hari. Bukan karena masalah kecil, tetapi masalah besar yang tidak dapat Rafa maafkan.
Rafa dengan lincahnya meninju lawannya tanpa ampun. Muka Jali sudah tak berbentuk lagi. Pukulan terakhir membuat Jali tersungkur jatuh. Napas Rafa terengah-engah, dia membetulkan letak bajunya yang sudah berantakan. Semua meneriaki nama Rafa yang memenangi perkelahian tersebut.
Tak jauh dari lokasi perkelahian, seorang guru berjalan cepat menuju tkp. Dia sudah tahu apa yang terjadi di sana. Dia berjalan diiringi perempuan berjilbab panjang di belakang. Perempuan itulah yang melaporkan kejadian ini.
"BERHENTI KALIAN!" Teriak guru tersebut. Namanya bu Osi. Guru bk di sekolah Rafa. Beliau mendekat lalu menjewer telinga Rafa dan Jali dengan keras. Otomatis Rafa dan Jali berteriak kencang.
"Aduuh Bu, ini sakit loh bu. Jangan jewer kenceng-kenceng bu, ini telinga saya sudah rawat dari kecil. Saya juga nggak nusuk telinga saya seperti Ibu yang dengan sadisnya nusuk telinga Ibu dengan anting yang gedenya mirip gelangnya Syahrini. 'Kan kasihan bu telinganya. Nanti nangis loh." Rafa mengeluarkan kata-kata andalannya. Memang dia selalu seperti itu, berbicara ngawur walaupun keadaan lagi genting.
"Rafa kamu bisa serius tidak? Kamu sekarang sudah keluar batas. Setiap hari tidak pernah alpa membuat onar. Saya sudah capek sama kamu. Semua hukuman serasa tidak mempan. Bisa tidak kamu berubah sehari saja? Saya bener-bener nggak ngerti pemikiran kamu." Bu Osi berbicara menggebu-gebu. Selalu saja emosinya naik jika berhadapan dengan satu anak muda di depannya.
Rafa tersenyum manis, walaupun Bu Osi sama sekali tidak merasa jika senyum itu manis, malah sangat menjijikan, "Yah bu. Jangan capek sama saya dong. Kalau Ibu capek sama saya, siapa lagi yang selalu setia marahin saya. Saya bakalan kangen sama Ibu. Toh Ibu 'kan guru yang paling saya sayang."
"Jangan ngawur kamu. Jika saja kamu bukan cucu pemilik sekolah ini, sudah saya keluarkan kamu dari dulu."
Tiba-tiba mata Rafa sudah tak tertuju pada Bu Osi. Matanya tertuju pada gadis mungil yang mengenakan jilbab besar. Gadis tersebut memandang dirinya tanpa ekspresi. Dia berada di belakang Bu Osi. Rafa tersenyum kepada gadis tersebut. Semua yang dikatakan Bu Osi tidak ada yang masuk di otaknya. Hanya wajah gadis itu yang memenuhi isi kepalanya.
"Hukum aja, Bu. Dia sudah buat muka saya babak belur gini cuma karena saya berbuat baik ke Tika." Jali kini berucap dan membela dirinya. Tangannya mengusap-usap wajahnya yang terasa sangat sakit dan berdarah.
"Woy, cendol, lo itu gue kasih pelajaran bukan karena lo buat baik sama Tika, tapi lo iseng diam-diam nyentuh dia pas tidur. Lo tahu 'kan, Tika itu nggak mau disentuh sama cowok?" Jujur Rafa. Dia memang melihatnya seperti itu.
"Lo salah paham, Raf. Gue tadi nolong dia karena pas dia tidur, ada cicak di jilbabnya. Gue tahu cewek itu rata-rata takut cicak. Jadi gue ngambil di jilbab dia." Jali menjelaskan kejadian sebenarnya. Rafa diam. Dia memandang mata bengkak Jali. Di sana memang tidak ada kebohongan. Ternyata dia salah paham.
"Nanti saja jelaskan. Sekarang, kalian ikut saya keruangan!" Bu Osi melepaskan jewerannya lalu hendak berjalan, tetapi tiba-tiba seorang guru olahraga yang mempunyai kumis tebal biasa dipanggil Pak Kumtel berlari panik ke arah Rafa.
Bu Osi bertanya ada apa, dan Pak Kumtel mulai menjelaskan jika Rafa saat ini harus segera bertanding bulu tangkis karena baru saja Pak Kumtel mendaftarkan Rafa secara sepihak dan tiba-tiba. Bu Osi mengizinkan, dan dengan terpaksa dia membatalkan hukumannya untuk Rafa, padahal dia sudah sangat kesal dengan anak itu, tapi demi nama sekolah Bu Osi rela. Rafa kemudian berjalan mengiringi Pak Kumtel, tetapi sebelum itu, dia mendekat ke arah Tika lalu berkata, "Tik, Gue bakal berubah kalau lo datang semangatin gue di sana." ucapnya lalu berlalu pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Different
SpiritualSemua berawal ketika Atikah pindah dari pesantren ke sekolah biasa karena suatu alasan Uminya. Di sana dia bertemu dengannya. Sosok yang Atikah pertama kali lihat ketika masuk ke sekolah barunya. Bagi Atikah cowok tersebut adalah ladang dosanya. Cow...