〚 terkurung. 〛

148 14 0
                                    

Langkah kaki Derren dan Ema saling menyusul. Keduanya sedikit canggung. Derren yang bingung harus basa-basi apa lagi, sedangkan Ema, ia malah menunggu Derren mengajaknya mengobrol. Keduanya hanya berjalan bersama, sesekali mereka saling melirik menunggu salah seorang membuka mulutnya.

"Ga-gaunnya.. bagus," ujar Derren. Ah, bodoh, basi banget.
Ema langsung mengarahkan pandangannya pada cowok itu, "Kamu suka gaun ini?"
Derren tersentak, "I-iya, bagus kok."

Sayang sekali ini bukan gaun milikku, batin Ema.

Tanah berumput hijau itu mereka injak. Di sisi taman, terdapat kolam dengan bunga teratai yang sangat cantik. Kolam itu juga diisi oleh kelopak mawar merah yang menyebar.

Srak-srak. 
Derren membersihkan tepian kolam itu dengan tangannya. Ia lalu mempersilahkan Crystal yang tertutup topeng itu duduk di sampingnya. Di balik topeng itu, Ema berbunga-bunga. Mendapatkan perhatian dari Derren yang biasanya cuek itu adalah suatu kegembiraan baginya.

Derren berkali-kali menyentuh belakang lehernya dengan tak nyaman. Entah kenapa, ia merasa Crystal kali ini berbeda. 

Crystal kemarin punya banyak cerita. Ia dengan matanya yang cantik bercerita seperti seorang wanita dengan banyak pengalaman. Sambil tersenyum memamerkan deretan gigi rapinya, ia sesekali melontarkan lelucon yang membuat Derren nyaman bersamanya.

Crystal hari ini adalah seorang yang banyak diam seolah menunggu Derren untuk selalu membuka obrolan. Derren merasa sedikit terbebani. Apalagi, Crystal bergaun merah ini sering melirik dirinya seolah mengharapkan sesuatu.

Ema melirik Derren lagi. Apa yang akan Derren bicarakan padaku, ya? 

Ema mengarahkan pandangannya ke arah kolam. Ia memasukkan jemarinya ke dalam air itu dan menggerakkan tangannya memainkan air itu. Kelopak-kelopak mawar itu jadi menyebar tak beraturan.

"Derren, lihat deh, teratainya cantik," ujar Ema mencari topik. Dalam hatinya, ia berharap mendapatkan gombalan balik. 

"Teratainya cantik seperti kamu," ujar Derren dalam bayangan Ema. Membayangkannya saja sudah membuat Ema melayang.

Derren lalu memandangi teratai dengan daun yang lebar itu. Ia juga memasukkan jemarinya ke dalam air dan menyebar kelopak mawar merah itu.

"Kau ingat pelajaran kita? Daun teratai punya lapisan yang membuat daunnya bersih dari kotoran, pantas saja ya, daunnya tetap bersih seperti ini," Derren membalas, "ini pertama kalinya aku dapat melihat teratai sedekat ini."

Cih! Ema menggigit bibir kesal. Di saat suasana romantis di tepi kolam seperti ini, bisa-bisanya dia membahas topik pelajaran yang bahkan sudah tenggelam dalam neuron otaknya.

"Tapi, lihat dong bunganya, nggak kalah cantik, kan," Ema merengut.

Derren tergelak, "Iya-iya, benar."

Deg! Derren tertawa. Pertama kalinya Ema melihat Derren yang cuek itu tertawa seperti ini.

Hachu!
Tiba-tiba saja, Ema bersin. Cepat-cepat ia menutup wajahnya dengan kipas karena malu.

"Kamu ngga papa?" tanya Derren, "apa banyak debu di sini?"

Hachu!
Gadis itu bersin lagi. Bodoh, kau malah makin mendekatkan kipas sialan ini pada wajahmu, Ema!

"Tidak, aku tidak apa-apa," Ema langsung menjauhkan kipas itu dari wajahnya. Jika bukan karena adanya Derren, ingin sekali Ema melempar kipas itu agar tenggelam di kolam. Kipas sialan itu membuatnya malu.

"Lebih baik kita kembali saja sebelum pesta dansanya dimulai," ajak Derren. Ia langsung bangkit dan berjalan duluan.

Ema geram, cowok itu bahkan tidak menggenggam tangannya. 

Hachu!
Ah kipas ini membuat hariku buruk!

"Kamu kenapa Crys? Kok aneh banget hari ini?" tanya Derren. Awalnya dia berpikir bahwa ada debu di taman yang membuat hidung gadis itu sensitif. Tapi kan, sekarang sudah jauh dari taman?

Melihat pintu ruang penyimpanan di sampingnya, Ema membuka pintu itu dan mendorong Derren dengan paksa.
Cklek. Ia mengunci pintu ruangan itu.

"Crystal!!" seru Derren marah karena tak terima dengan perlakuannya. Tangannya mengepal menggedor pintu itu.
"Jangan panggil aku Crystal!" teriak Ema marah. Kenapa Derren selalu menyebut nama itu dan bukan dirinya?

"Kamu bicara apa?" Derren mengerutkan alis. Perasaannya setengah marah dan bingung.

"Aku bukanlah Crystal!" seru Ema seraya membuka topengnya. 

Derren tercengang. Kini ia melihat wajah Ema dengan jelas. Jadi dari tadi aku membuang waktuku bersama anak ini?! Sial!
"Keluarkan aku dari sini, licik! Apa maumu?!" seru Derren yang sudah meradang.

"Hm? Mauku? Bukankah sudah jelas?" ujar Ema, "aku mau kau berdansa denganku, bukan dengan anak itu!"

"Keluarkan aku, licik!" seru Derren, ia memukul-mukul pintu.

"Kau mau keluar? Kau harus memintaku berdansa denganmu," balas Ema. Ia merapikan rambut dan gaunnya.

"Tidak akan!" seru Derren.

"Yakin?" balas Ema, "ku beri tiga detik untuk berpikir."

"Itu tidak akan terjadi! Jangan berhayal!" balas Derren. 
Cewek ini benar-benar!

"Satu, dua, tiga.." 

"Percuma," balas Derren, "keputusanku sudah bulat."

Ema menghembuskan napas jengkel. Cowok ini tidak mau diuntung ya?

"Baiklah, semoga saja ada yang menyadari keberadaanmu di ruangan terpojok ini, jangan sampai kau terlelap sampai pagi di sini ya, prince," Ema menyeringai.

Melambaikan tangannya, Ema langsung berlalu meninggalkannya.

Derren memandangi ruangan gelap itu, "Ck, sial, bagaimana aku bisa keluar dari sini?" 

𝐛𝐞𝐬𝐭𝐢𝐞𝐬 [ 𝐞𝐧𝐝. ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang