Sore itu, sekolah sepi. Murid-murid telah pulang ke rumahnya. Sungguh aneh rasanya ketika sekolah yang biasanya ramai dilalui murid-murid itu kini hening dan kosong seperti rumah hantu. Geralda meletakkan sapu yang dipegangnya tadi.
Kini ia beranjak ke meja guru dan jemarinya membuka buku piket yang tergeletak di atas meja guru.
"Kurang ajar," umpat Geralda. Bola matanya bergerak membaca nama teman-temannya yang telah menandatangani buku piket padahal mereka langsung pulang begitu mendengar bel berbunyi.Usai menandatangani namanya di buku piket itu, ia lalu mencoret nama teman-temannya dengan bolpoin merah.
Kriet..
Geralda menutup pintu kelasnya. Kakinya melangkah mantap ke ruang guru, rencananya ia akan mengadu pada wali kelasnya perihal masalah ini. Sebenarnya, Geralda bukanlah seorang anak yang pengadu, namun ia sudah benar-benar muak dengan sikap teman-temannya itu.Tok tok tok.
Dengan sopan ia mengetuk pintu ruang guru. Ia memasuki ruangan itu dan mendapati wali kelasnya sedang menatap layar laptopnya, sepertinya guru itu sedang mengoreksi tugas."Sore, Bu," Geralda perlahan mendekati gurunya itu, berharap bahwa ia tidak mengganggu pekerjaannya.
Guru itu segera menghentikan kegiatannya, ia mengangkat kacamata hitamnya lalu menatap orang yang berdiri di sampingnya itu.
"Geralda?" guru itu mengangkat alisnya heran, ia lalu melirik jam yang melingkar di tangannya. "Kamu belum pulang?"Geralda tersenyum lalu menggelengkan kepalanya, "Apa saya mengganggu ibu?"
Dengan cepat wanita itu menggeleng, "Tidak, ada yang bisa ibu bantu?"
Geralda lalu memberitahu apa yang menjadi tujuan utamanya untuk menemui wanita itu. Guru itu mengangguk-angguk seraya mendengarkan perkataan muridnya itu.
"Bisa kau sebutkan siapa saja yang seperti itu?" wanita itu mengambil secarik kertas dan sebatang bolpoin untuk mencatatnya. Geralda bersemangat menyebutkannya, sebab ia tahu, besok, mereka akan mendapatkan hukuman.
Geralda menundukkan kepalanya, "Terima kasih, Bu."
"Tidak masalah, hubungi ibu ketika kejadian seperti ini terulang lagi," ujar guru itu tegas sambil membenarkan kacamatanya.
Geralda bersiap pulang. Ketika ia berjalan pulang, ia melewati ruang kepala sekolah yang pintunya sedikit terbuka. Ia mendengar bapak kepala sekolah dan seorang pria bercakap-cakap. Di samping pria itu, ada anak perempuan yang sedang duduk di sofa sambil menundukkan kepalanya.
Itu kan Ema? Geralda membatin.
"... begitu pak, saya mohon maaf atas perilaku putri saya. Lusa, kami akan pindah ke Lampung," pria itu berbicara pada kepala sekolahnya.
"Apa? Yang benar?" Geralda berteriak kaget.
Baik kepala sekolah, Ema, maupun ayahnya tersentak mendengar teriakan Geralda yang tiba-tiba. Ema lalu berjalan ke luar dan mendapati Geralda di depan pintu.
"Maaf, ayah. Dia temanku, aku akan berbicara padanya," Ema berbicara pada ayahnya. Setelah itu, ia menarik lengan Geralda untuk berjalan menjauhi ruangan itu.
"Kau mau pindah?" tanya Geralda. Ema hanya diam dan menarik lengan Geralda buru-buru.
"Hei, kau dengar pertanyaanku tidak?" Geralda mencoba melepaskan tangan Ema.
Ema lalu melepaskan tangannya dan membalikkan badannya menghadap Geralda. Bibirnya bergetar dan perlahan terbuka, ia berkata dengan lirih, "Ya, kau senang?"
Geralda mengangkat bahu, "Biasa saja, tuh."
"Ku pikir kau senang mengetahui pengacau sepertiku tidak bersekolah di sini lagi," Ema tertawa canggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐛𝐞𝐬𝐭𝐢𝐞𝐬 [ 𝐞𝐧𝐝. ]
Teen FictionWhat happens when the popular girl, the tomboy girl, and the nerdy girl are put together? Harus menghabiskan masa study tour bersama teman-teman yang sama sekali tidak dekat dengannya merupakan suatu mimpi buruk bagi Crystal. Crystal yang populer d...