"Kenapa kau melakukan ini padaku?"
Yang Ryena lakukan hanyalah mengangkat kepalanya, sebelum matanya bertemu dengan seorang gadis bermanik berwarna sama dengan matanya sendiri, menatap ke arah lain dengan tatapan penuh kebencian.
Ryena pikir gadis itu amatlah menakutkan, sampai akhirnya dia tersadar bahwa itu adalah dirinya sendiri.
"Kau yang memulainya," balas sebuah suara gema yang lambat dan berat.
Ryena mulai memeriksa sekitaran sana, tempat di mana dirinya yang lain tengah berdiri, menggunakan pakaian kumuh seperti biasa, rambut pendek yang kusut dan tidak diikat. Penampilannya lebih parah daripada peminta-minta yang duduk di jembatan penghubung antar desa.
Latar belakang tempat yang mereka datangi adalah ruangan hitam, atau mungkin tempat gelap dan hanya sosok di depannya yang terlihat bercahaya. Entahlah, Ryena bahkan tidak mengerti apapun yang terjadi.
"Aku tidak pernah meminta semua ini," lirih Ryena di depannya dengan penuh penyesalan.
Satu-satunya hal yang tidak berubah adalah tatapan tajamnya sendiri. Ryena belum pernah melihat dirinya sendiri mengeluarkan ekspresi sejahat itu sebelumnya, dan dia pikir, wajahnya yang garang itu mungkin terlihat lebih kejam daripada algojo istana.
"Terimalah apa yang kau dapatkan, terimalah apa yang kau perbuat. Jangan menyesali apapun. Sejak awal, kau tidak pernah diberi kesempatan untuk memilih."
"Aku tidak menginginkan ini!" Ryena di depannya masih menatapnya tajam, tetapi Ryena merasa tidak takut sama sekali, mungkin karena itu adalah dirinya sendiri.
Alih-alih merasa simpati dengan ucapan pedih yang dikeluarkan dirinya sendiri, Ryena malah geram ingin menggosok keningnya dengan kedua telapak tangannya agar tidak lagi kusut.
"Aku tidak menginginkan kekuatan ini!"
Mata Ryena terbuka tiba-tiba. Hanya berlangsung selama beberapa saat, sampai akhirnya Ryena tersadar bahwa kelopak matanya masih terasa sangat berat. Kelopak mata atas dan bawahnya seperti sepasang kekasih yang saling mencintai, tak ingin terpisahkan.
Ryena hampir tidur, tetapi akhirnya dia memutuskan untuk bangkit dari tidurannya dan menoleh ke arah ibunya yang berbaring di sampingnya. Ibunya batuk, suara itu terdengar lebih menyakitkan daripada apapun.
"Ibu, bangun. Minum obat dulu."
Ibunya menatapnya sekilas, lalu melanjutkan batuknya tanpa membalas ucapan Ryena. Ryena tahu ibunya tidak akan membalas, tetapi dia tetap bangkit dari tidurannya dan berjalan di atas tanah yang sudah dikeraskan--lantai kamarnya--menuju tempat di mana ayahnya menyimpan sisa obat yang pernah dibuat para tabib.
Sembari memperhatikan selembar daun obat yang hampir mengering, Ryena menahan diri untuk tidak menghela napas dan langsung menumbuknya agar menjadi lembek. Diraihnya sebuah cangkir besar yang bentuknya sudah tidak lagi menarik karena bagian atasnya sudah meleleh akibat kelalaiannya dulu meninggalkan cangkir itu di dekat tungku. Air di dalam cangkir tidak terlalu banyak, tapi cukup untuk obat ibunya dan sekali minum untuk penetral rasa pahit.
Dituangkannya sir itu ke daun yang telah ditumbuknya. Aroma obat yang tidak asing pun menguar keluar, bersumber dari daun itu, daun pemberian Tabib Zuan.
"Bu, minum obat du--"
Ucapan Ryena terhenti saat melihat ibunya sudah kembali tertidur.
"Bu, bangun, Bu. Minum obat dulu ..."
Ibunya masih tertidur, terlelap walau terkadang terbatuk keras. Ryena tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Terkadang, dia berharap ibunya berhenti batuk dalam tidurnya, jadi ibunya bisa tidur nyenyak tanpa ada masalah apapun. Namun kenyataannya, saat ibunya berhenti batuk sebentar saja, Ryena dikerubungi ketakutan yang sangat dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZEMBLANITY - The Kingdom of Light [END]
Fantasy[Fantasy & (Minor)Romance] Ryena hanya seorang gadis desa yang namanya tiba-tiba dikenal seantero negeri karena kekuatannya untuk menyembuhkan penyakit apapun. Suatu hari, Ryena dan keluarganya diundang di Kerajaan Cahaya untuk menyembuhkan penyaki...