Aku selalu mengira hidup itu membosankan, melakukan rutinitas yang sama. Bangun, ke kampus, dan pulang ke rumah. Selalu seperti selama bertahun-tahun, hingga tanpa sadar aku tak lagi memedulikan hal-hal sekelilingku. Entah itu karena usia, atau hanya karena kebosanan yang menumpuk.
Menghela napas, aku meletakan kertas laporan terakhir yang kuperiksa. Melirik jam tanganku, pukul 14:05. lagi-lagi aku melewatkan waktu makan siang. Yah, mungkin tak masalah juga. Setidaknya itu membuat cafe yang biasanya kukunjungi tak seramai biasanya.
Aku mengambil jaketku, mengunci ruang kerjaku dan dan berjalan ke cafe yang terletak dua blok dari kampus. Seperti biasanya, ketika aku memasuki cafe itu, selalu ada ownernya.
"Lane, kau agak terlambat hari." Dia selalu tersenyum ramah menyapaku. Mengantarkanku ke meja paling pinggir di dekat jendela dan berbicara seolah-olah aku ada janji datang menemuinya.
"Apa menu makan siang hari ini, Saga?" mungkin karena aku selalu makan di sini setiap hari, senin sampai jumat tanpa sekalipun melewatinya hingga pemilik dan semua karyawan di sini sudah sangat mengenaliku.
"Katsudon dan kari, apa yang kau inginkan?" ini tempat yang bagus, menu yang berganti setiap hari dan yang terpenting karyawannya tak bertanya kenapa aku selalu datang sendirian seperti tempat makan lain yang kudatangi dulu-dulu hari.
"Nasi kari saja dan moccacino dingin." Aku sebenarnya tak terlalu peduli pandangan orang lain, hanya kesal saja ditanyai oleh orang asing.
"Baik, silakan tunggu sebentar." Saga tentu tak demikian, dia menghargai privasiku sebagai langganan tetapnya. Dia bahkan mengulang kembali pesanan dengan ramah, tersenyum sebelum berpamitan ke dapur meski ia tahu aku tak terlalu peduli jika mereka salah mengantarkan pesanan. Profesionalitas yang tinggi, tak heran cafe yang ia kelola tak pernah sepi pengunjung.
Aku cukup menyukai Saga, dalam taraf menyukai seorang manusia. Terdengar aneh memang, tapi untuk diriku yang benci segala jenis mahluk hidup, menyukai seorang manusia merupakan sebuah kemajuan bagiku.
Dia, selalu ramah pada siapapun, bahkan seorang anak kecil yang bertanya hal-hal tak masuk akal atau meminta dibuatkan menu berbentuk karakter anime yang tengah populer. Dia membuatnya, meminta chef memasak sesuatu yang tak ada di menu hingga membuatnya chefnya berteriak kesal pada bosnya sendiri, hanya karena dia ingin melihat senyuman anak kecil itu.
Aku suka memerhatikannya. Daripada melihat pemandangan di luar atau membaca buku yang kubawa saat menunggu pesanan. Kurasa, karena dia terlihat begitu baik.
"Silakan, Lane." Ah, dia kembali ke mejaku. Duduk dihadapanku, menemaniku makan seperti biasanya, ketika pengunjung tak terlalu ramai. Selalu seperti itu, tanpa bisa kumengerti alasannya.
"Terima kasih." Aku senang atas sikapnya, meski agak aneh dan agak kikuk di awalnya, tapi melihat bagaimana ia tersenyum menceritakan berbagai hal sambil menatapku makan selalu membuat makananku terasa lebih enak.
Terlalu nyaman, hingga terkadang... tanpa sadar, aku berpikir mungkin menyenangkan hidup bersama dengan orang ini. Tentunya itu hanya pemikiran sesaat dan tak ada niat bagiku untuk mengungkapkannya, aku hanya berandai saja.
"Hari ini, kau pulang jam berapa? Aku punya tiket nonton teater. Drama musikal lokal dengan cerita orisinil, kudengar reviewnya bagus. Mau pergi bersama?" diajak menghabiskan waktu pribadi bersama seperti ini saja aku sudah senang.
"Sudah tak ada kelas dari pukul 17:00, tapi ada beberapa berkas yang harus kuperiksa. Pukul 20:00 bisa?" meski aku tahu alasan ia mengajakku karena sudah tak banyak orang yang suka menikmati nonton drama klasik. Maka dari itu, dia tak punya pilihan lain selain mengajakku yang memiliki minat yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Honey Traps [END]
Short StoryLane seorang pria yang anti sosial, benci semua bentuk kehidupan dan interaksi antar manusia, seorang dosen sekaligus mahasiswa pascasarjana yang secara tak sadar telah masuk dalam jebakan Saga. Serorang pemilik cafe yang terletak tak jauh dari area...