Bagian 3

2.1K 260 25
                                    

Jika sebelumnya aku selalu menuturkan betapa banyaknya sisi baik Saga, maka kali ini aku akan mengatakan sebaliknya.

Dia, melakukannya lagi. Tiba-tiba saja marah tanpa sebab, menatapku dingin tanpa berkata-kata saat aku datang untuk makan siang seperti biasanya.

Mataku tak hentinya melirik padanya, mencoba membaca apa yang ia pikirkan dibalik senyuman ramah yang ia tujukan pada tamu di sebelah mejaku. Aku ingin bertanya, 'apa kau marah padaku?' Namun bibirku tak bisa berucap saat mata kami tak sengaja bertemu.

Seingatku, setelah kami menonton film kekanakan tersebut, Saga pulang dengan senyuman lebar di wajahnya. Maka dari itulah aku kembali dibuatnya bingung, mulai memikirkan kemungkinan dimana Saga memiliki kepribadian ganda.

"Pak Lane!" Pemikiran itu segera buyar saat suara tak asing terdengar. Secara halus memaksa kepalaku untuk menoleh ke arah depan, meninggalkan kegiatan mengawasi Saga sejenak.

Aku tertegun, diam menatap tak suka padanya. "Aku serius soal makan malam itu, pikiran lagi. Kau boleh memilih tempatnya." Pada seorang laki-laki muda yang berstatus anak didikku.

Mahasiswa bodoh yang masuk lewat jalur belakang, hanya bermodal tampang menarik dan mulut manis yang selalu ia gunakan untuk merayu dosen wanita. Serta uang pemberian orang tua yang selalu menjadi bala bantuan khusus jika rayuannya gagal.
Singkatnya dia adalah sampah masyarakat bernama Yael. Mahasiswa tak tahu malu yang mulai merayuku dengan makanan setelah ia tak sengaja membuat Profesor Karl, atasanku itu memasukkannya dalam black list.

Setidaknya, mesti tak berotak dalam pelajaran, dia cukup cerdas untuk tahu siapa yang harus ia jilat demi keuntungannya. Dalam kasus ini, Yael tahu pasti bahwa Profesor Karl sangat mendengarkan pendapatku.

Maka dari itu, sejak pagi hari... inilah yang Yael lakukan. Berkeliaran di sekitarku dan mulai merayu dengan berbagai cara agar aku mau membantunya membujuk Profesor Karl untuk tak memberikan nilai D pada tugas yang baru saja ia kumpulkan.

Tentunya aku tak mau membuang waktuku untuk terlibat dalam urusan manusia tak berguna sepertinya. "Tidak perlu, apa kau pikir aku tak mampu membayar makananku sendiri?" menolak dengan tegas adalah keputusan yang paling tepat, meski kurasa caranya agak sedikit kasar.

Tapi, terserahlah. Menangani manusia memang bukan keahlianku. "Bukan maksudku merendahkan Bapak, tapi aku rasa makan malam di restoran bintang lima bukan sesuatu yang bisa Bapak nikmati setiap hari bukan?" Terutama si sombong yang tak tahu cara menjaga mulutnya. "Bagaimana? Atau Bapak lebih suka hal yang lain? Akan kubelikan apapun." Bagaimana mungkin dia berpikir bisa membuatku menjadi bidaknya jika ia bahkan tak tahu cara negosiasi yang baik?

"Tidak perlu. Sebaiknya kau pergi saja." Ck. Mengesalkan.

Yael masih saja tak beranjak dari kursi, dia mengeluarkan kalkulator dari dalam tas. Mengetik beberapa nominal untuk ditunjukkan padaku. "Aku tahu, bagaimana kalau segini?" Menawarkan sejumlah uang yang bahkan tak ia ketahui cara mendapatkannya.

Aku menatapnya dingin, berdiri dan berbalik ke arah kasir sambil mengatakan kalimat yang membuatnya menjatuhkan kalkulator itu. "Akan kupastikan kau mendapatkan nilai E," membungkam mulut kurang ajar yang menghinaku seperti itu. "Bukan hanya di tugas kali ini, tapi untuk semua penilaian dalam mata kuliah sastra selama sisa semester ini."

Itu bukan ancaman, mungkin aku memang tidak mengajar di kelasnya. Tapi bisa kupastikan Profesor Karl akan melakukannya bila kukatakan apa yang coba Yael lakukan saat ini.

Mencoba membeliku seolah aku seorang pengemis yang kelaparan, mendorongku ke pagar kampus di depan seluruh mahasiswa, mengoda dengan gombalan seperti saat ia lakukan pada gadis-gadis demi sebuah nilai yang tak mampu ia dapatkan sendiri.

Honey Traps [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang