Hallo all~
Masih ada yang nungguin cerita ini? aku minta maaf kelamaan update, padahal janjinya beberapa kali sebulan tapi malah diterlantarkan kelamaan. Hehehe, soalnya aku banyak pikiran dan kegiatan akhir-akhir ini. Maklumin ya!
Aku usahakan untuk selanjutnya nggak akan terlalu lama, tapi gak bisa janji juga sih..
So, langsung aja, met membaca ^ 3 ^ )/~
( o 3 o )/"
Keesokan harinya, aku kembali ke rutinitas lamaku yang damai. Hubungan pertemanan yang baik dengan Saga dan seporsi makan siang enak yang begitu kurindukan.
Laki-laki itu, Saga. Duduk di hadapanku, menyilangkan kakinya, meletakan kedua tangan di atas meja sambil bertombang dagu. "Bagaimana?" bertanya tentang rasa pasta yang dia sajikan untukku.
Aku mengerutkan dahi, agak bingung harus bereaksi bagaimana terhadapan tatapan aneh darinya. "Enak." Kupikir ia ingin dipuji, tapi meski sudah kukatakan enak pada pastanya, Saga masih saja menatap lekat-lekat seperti menunggu-nunggu sesuatu dengan antusias.
"Lalu?" kemudian dia bertanya demikian setelah aku mendiamkannya cukup lama. Sekali lagi aku mengerutkan dahiku tak paham, meletakan garpuku dan mencoba untuk memberinya respon. "Hmm, sausnya terasa kuat dan udangnya segar." Aku berusaha sebaiknya memuji lebih detail, meski kurasa jawabanku aneh hingga membuatnya tak puas.
Sebab, kali ini Saga malah tersenyum simpul, mengurai jari-jari yang terlilit rapi dan mengubah posisi duduknya menjadi bersandar ke sandaran kursi. Matanya melirik seolah ingin berucap, namun tak ada kata yang berucap hingga membuatku terganggu. Refleks aku meraih cangkir tehku, menegupnya perlahan mencoba menenangkan diri sambil memikirkan maksud dari semua perilaku aneh Saga.
"Yang kutanyakan bukan rasa pasta itu, tapi yang kutanyakan adalah bagaimana perasaanmu padaku." Dan, setelahnya dia berhasil membuatku tersendak teh hingga mengotori pakaianku.
Pemikiran bodoh yang telah kutepis jauh-jauh itu kembali, tentang ungkapan perasaan Saga yang bagai ilusi mimpi itu. Apa maksudnya dia bertanya kembali tentang jawabanku? Setelah dia bilang lupakan? "Maksudmu?" aku jadi gugup, mencoba meraih tisu dengan cerobohnya.
"Bukan apa-apa." Tapi lagi-lagi Saga bersikap membingungkan, menarik kembali pertanyaan dan malah sibuk mengambilkan tisu untukku dan mulai bertingkah perhatian mengelap bagian kemejaku yang kotor. Aku hanya diam, salah tingkah seperti orang bodoh. "Ngomong-ngomong, aku boleh datang ke rumahmu nanti?" mengangguk saja menyetujui perkataannya. Merasa heran saja untuk apa dia bertanya kembali setelah aku memberinya izin kemarin malam.
"Bagus, aku akan membawa beberapa barang, kita makan malam bersama." Malahan Saga berniat membawa sesuatu? Yang benar saja, memangnya dia mau pindahan?
"Hah? Kau hanya datang untuk memasak, untuk apa bawa barang-barang? Aku akan belanja sepulang kerja nanti, tak perlu mencemaskan isi kulkasku lagi." Aku harus meluruskan padanya, aku bukan anak kecil yang baru mulai hidup mandiri. Aku laki-laki dewasa yang sudah lama hidup sendiri, mandiri dan mampu mengurus diriku sendiri.
"Kau yakin?" aku jelas tersinggung atas keraguannya itu. Seolah dia meremehkanku.
"Yakin, jangan membuat repot dirimu sendiri." Maka dari itu, aku segera mengakhiri pembicaraan yang sepertinya akan semakin melenceng condong ke hubungan ala ibu dan anak remaja. Berpamitan untuk kembali ke kampus usai membayar tagihan.
( o 3 o )/"
Malam itu, Saga menetapi janjinya dan juga melakukan hal tak perlu yang sudah kutolak. Dia datang, membawa beberapa alat masak, bumbu dan bahan makanan yang sebenarnya sudah kusiapkan sebelumnya. Laki-laki itu tersenyum polos, mendorongku pelan begitu aku membuka pintu. Dia sibuk menangkut tumpukan barang tak penting itu ke dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Honey Traps [END]
Short StoryLane seorang pria yang anti sosial, benci semua bentuk kehidupan dan interaksi antar manusia, seorang dosen sekaligus mahasiswa pascasarjana yang secara tak sadar telah masuk dalam jebakan Saga. Serorang pemilik cafe yang terletak tak jauh dari area...