Epilog

2.8K 257 31
                                    

"Lane, tolong aku!" jerit Yael ketika aku baru membuka pintu ruang kerja kami. Pacarku itu, terduduk di lantai dengan setumpuk berkas yang berhamburan di sekelilingnya. Di dekat kakinya, ada mug kopi yang telah pecah. Dengan isinya yang membasahi lantai dan berkas-berkas itu.

Aku menatapnya datar, bingung kenapa disuruh menyusun laporan saja bisa sampai seberantakan ini. Memangnya apa saja yang dia lakukan selama dua tahun bekerja di bawah naungan Profesor Karl?

"Aku hanya pergi setengah jam dan lihat apa yang kau lakukan," ucapku. Berjalan mendekat padanya, mengambil tangannya untuk memeriksa apakah ada luka atau tidak.

"Maafkan aku, aku hanya mau membuat kopi dan tanpa sadar sudah jadi seperti ini," Yael mulai merengek. Ia memasang wajah seperti ingin menangis yang membuatku tak tega untuk memarahinya. Laki-laki satu ini tampaknya bukan hanya idiot, tetapi juga kikuk dan ceroboh. Aku tak percaya, apa yang membuatnya bisa begitu populer dengan skill yang begitu menyedihkan.

Kutarik lengannya, mengangkatnya hingga berdiri ketika melihat tak ada luka. "Tak apa, kembali ke kursimu dan print ulang dokumen-dokumen itu. Biar aku yang membereskannya," perintahku. Berjalan ke lemari penyimpanan paling sudut untuk mengambil peralatan kebersihan.

Yael masih saja menatapku seperti anjing yang minta diperhatikan, tangannya bergerak gelisah seirama dengan gerakan bola matanya. "Um, aku bisa membereskannya sendiri," ucapnya ragu-ragu.

Aku mendekat padanya, mencengkeram dagunya dengan satu tangan. Memberinya tatapan intens dari jarak yang sangat dekat. "Kau hanya akan mengacaukannya lagi. Diam dan kerjakan saja perintahku." Pada akhirnya, aku memerintahnya lagi. Bukan karena marah, tapi hanya sudah menyerah dengan semua kekacauan yang ia buat.

Kami baru menjalani tiga bulan sebagai kekasih dan atasan-bawahan, tapi Yael sudah membuatku putus asa untuk mengharapkan sesuatu darinya. Namun, tak masalah. Aku tak benci itu. Tak apa kalau dia tak berguna, aku sudah bisa menerimanya dan malah akan kugunakan kelemahannya itu untuk menjerat kakinya. Memastikan dia tak akan pernah lari dariku.

Yang kubutuhkan adalah hati dan kehangatan tubuhnya. Aku tak butuh lainnya. Dan jika memang ada, maka itu cukup sebagai bonus. Aku tidak serakah, aku hanya butuh seseorang yang menerimaku dan bersedia tinggal di sisiku. Sejauh ini, Yael belum mengecewakanku untuk yang satu ini dan kuharap dia tak akan pernah.

Yael mengalihkan pandangannya, menurunkan tanganku yang berada di wajahnya dengan hati-hati. Ia menunduk kemudian, mengangguk mengerti dan memutar kursinya hingga menghadap layar monitor.

Aku menghela napas melihatnya. Perubahan kepribadian yang luar biasa tampaknya tak hanya kualami, Yael juga sama sepertiku. Orang yang mudah terobsesi dan hidup dengan mementingkan cinta, alih-alih logika. Itulah sebabnya, kenapa ia bisa berubah begitu mudah jika itu berkaitan denganku. Meskipun tak sepenuhnya. Yael yang dikenal oleh junior-juniornya tak pernah lenyap. Kepopulerannya di antara laki-laki dan perempuan selalu tampak jelas ketika ia berkeliling kampus.

Hal yang kadang membuatku begitu cemburu. Ingin rasanya mengurungnya di rumahku, memilikinya sendiri. Tentunya itu tak kuungkapkan. Yael bisa ketakutan dan lari ke pelukan ibunya. Maka dari itu, ketika melihatnya begitu sedih hanya karena aku bersikap sedikit dingin, membuatku merasa lebih baik. Rasa sakit yang dia rasakan karena mencintaiku, membuat perasaanku padanya berkembang dengan baik.

Setelah selesai berberes, aku memeluknya dari belakang. "Jangan sedih, aku tak marah." Aku sengaja berbisik padanya. Memberinya cambuk, lalu permen yang manis. Bergantian bermain dengan hatinya, membuatnya jatuh cinta lagi ketika rasa itu terkikis sedikit.

"Sungguhan?" Yaelku yang bodoh, begitu mudah ditipu. Mata berbinar-binar yang hanya menatapku itu, begitu manis dan menentramkan.

"Tidak percaya?" Aku menciumnya kemudian, mengecup bibirnya dengan penuh perhatian. Membelai tubuhnya dengan lembut, membuatnya percaya kalau aku mencintainya. Menyita seluruh perhatiannya, memanjakan tubuhnya yang begitu sensitif. Begitu mudah meleleh seperti halnya hatinya.

Honey Traps [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang