Bagian 6

1.6K 208 5
                                    

Aku tertegun, menatap lurus pada halaman buku yang kosong. Pikiranku terbang melayang seperti embusan angin yang sejuk di bawah pohon tempatku duduk.

Lebih tepatnya aku shock oleh keputusanku sendiri, merinding oleh kata-kataku sendiri dan sekaligus merasa bersalah pada Saga yang berkata 'oke' dengan bahagianya kemarin malam.

Aku menjadikan seorang laki-laki sebagai pacar, membangun sebuah hubungan asmara setengah hati dan terlebih dia adalah pacar pertamaku.

Terkutuklah aku, berbuat sejahat itu pada orang sebaik Saga hanya karena tak ingin lagi merasa kesepian.

Tak berdaya, aku duduk sendirian bergumul dalam hati di tengah halaman tengah kampus. Ingin rasanya berteriak, tapi terlalu malu mengingat profesi dan usiaku.

Dan di saat kacau itu pula, seolah karma dari perbuatanku membalas, Yael memunculkan sosoknya di hadapanku.

Dia menyeringai, berdiri di depan ku dengan penampilan yang menyakitkan mata. Celana berwarna merah maroon, kaos pink dipadukan dengan sebuah rompi model parasut berwarna senada dengan celananya. Tak lupa juga mengenakan jam tangan digital dengan warna mencolok yang sulit dilihat angkanya. Lalu beberapa aksesoris dan sebuah topi untuk melengkapi penampilannya. Sepatu berwarna hitam berpadu dengan putih dengan tambahan sedikit corak pink.

Bukan hanya menganggu pemandangan, tapi juga menarik perhatian.

"Pak Lane! Sekarang aku single!" Ujarnya riang, berjongkok di depanku. Kedua tangannya ia lipat di atas lututnya, kemudian ditumpu dengan kepalanya.

"Kok diam? Ngomong sesuatu donk!" Yael main mata kemudian, berbicara dengan nada menuntut manja seperti anak kecil.

Aku menatapnya malas, "Lalu?" berbicara seperlunya saja. Terlalu malas meladeni Yael.

"Lalu ya itu, Bapak tak lupa kan? Iya kan? Yang kemarin kita bicarakan." Maksudnya yang kemarin itu apa?

Kalau tak salah kemarin... "Pak Lane! Masa benaran lupa? Kan Bapak kemarin janji, bilangnya kalau aku putuskan semua pacarku, Bapak mau pacaran dengan aku!" Ah, iya. Kemarin ada kesalahpahaman menjengkelkan atas dasar imajinasinya sendiri.

Aku jadi kesal kembali saat mengingatnya, mencengkeram rahang Yael sekuat tenaga.

"Oh, bicara apa mulut ini huh?" Dengusku, aku sangat yakin telah kehilangan segala kesabaranku, kalah oleh keinginan untuk memberi pelajaran keras padanya.

"Huaa! Sakit! Aduh lepaskan donk!" Yael memekik masih dengan nada manja, menepuk-nepuk tanah secara dramatis. "Kok kasar sih, aku kan cuma menuntut janji!" Terus menunjukku dengan jari telunjuknya setelah kulepaskan.

"Evaluasi ulang seluruh kalimat yang kuucapkan padamu kemarin dan pastikan kau tak salahpaham sendiri. Aku tak pernah mengucap satu pun kalimat seperti ajakan pacaran atau kalimat seperti aku menyukaimu." Kutepis jarinya, mengeluarkan kamus dari tasku dan memukul kepalanya dengan kamus itu.

Melenggang pergi menuju ke ruangku. "Satu lagi, aku benci orang bodoh. Ah, dan jangan lupa janjimu yang tak akan mengadu apapun pada ibumu." Tentunya tak lupa memperjelas semuanya.

Dengan demikian, nantinya aku tak akan direpotkan lagi oleh Yael. Setelah dia selesai evaluasi diri dan sadar bahwa aku membencinya, dia hanya akan menghilang dari hadapanku dan tentunya tak akan membawa masalah untukku.

Katakanlah aku tak punya hati nurani, lalu kenapa? Kehidupan memang penuh dengan manusia seperti ku. Itu normal.

\(○♢○)/

Sore harinya, ketika aku telah menyelesaikan semua kelasku. Aku pulang seperti biasa. Berharap bisa menghabiskan sisa hariku dengan ketenangan.

Tapi, lagi-lagi harapanku selalu dihancurkan oleh Yael.

Honey Traps [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang