Bagian 8

1.4K 188 31
                                    

Aku sengaja datang ke cafe Saga hanya untuk meminta maaf, tapi dia terlalu marah hingga tak mau menemuiku. Laki-laki berstatus pacarku itu tengah bersembunyi di dapur, menolak untuk keluar saat aku meminta salah satu karyawannya untuk memanggil.

Aku tahu aku yang salah, tapi lari tak menyelesaikan apapun, justru sikapnya itu membuatku sedikit terluka.

"Maaf, Bos benar-benar keras kepala. Saya sudah memintanya berkali-kali." Sekali lagi, pemuda pekerja part timer itu menunjukan wajah tak enak, seolah dia yang salah, bukan bosnya yang kekanakan.

"Tak masalah, itu bukan salahmu." Aku mengeleng untuk menenangkannya. "Kurasa sebaiknya aku pergi." Kemudian aku meletakan cangkir tehku dan pergi membayar.

Aku tidak akan kembali lagi hanya untuk ditolak, mungkin ada baiknya aku memberi jarak... atau menyerah saja sekalian. Terlalu sulit untuk menjalin hubungan penuh emosional seperti ini. Tapi jika aku memikirkan kemungkinan tak akan bisa melihat Saga lagi, aku mulai ketakutan.

Ini membuatku frustasi.

Setelah berjalan lima meter dari cafe, aku berbalik arah. Kembali lagi ke sana, berdiri di dinding samping bangunan itu, bersembunyi di sana. Jika Saga sengaja menghindar, maka aku akan menunggunya hingga keluar dan mencegatnya. Jadi kami bisa berbicara empat mata dan segera berbaikan.

Ini malam yang dingin, tapi terasa nyaman. Orang-orang yang berlalu lalang, suara-suara kebisingan kota yang terdengar terasa asing bagiku, membuatku sadar berapa banyaknya waktu yang kuhabiskan untuk mengurung diri dalam sebuah ruangan.

Lelah berdiri, aku duduk bersandar pada dinding. Aku memainkan ponsel yang begitu jarang kusentuh, kemudian aku sadar akan satu hal. Aku tidak punya kontak Saga sama sekali, juga tak punya fotonya. Tanganku berhenti menekan tombol, memasukan kembali benda kecil itu ke dalam saku.

Aku menoleh ke pintu belakang cafe saat mendengar suara pintu terbuka, senang melihat Saga yang keluar dari sana. Refleks aku berdiri, memanggilnya. "Sag-" namun sedetik berikutnya, perasaanku menjadi kacau.

"Hentikan, jangan di sini."

"Eh, kenapa? Kau menyukainya, bukan? kusentuh seperti ini."

Saga dipeluk dari belakang oleh seorang pria saat ia akan pulang, namun ia tidak menolaknya dengan serius. Dia membiarkannya begitu saja, menerima tanpa perlawanan saat pria itu mendorongnya ke dinding, memeluk pinggangnya dan mencium bibirnya penuh tuntut.

Pria itu bukan orang asing, sekalipun aku tidak tahu namanya, tapi aku mengenali wajahnya. Dia seorang tukang masak yang bekerja di sini. Terkadang dia keluar dari dapur untuk menyapa temannya yang datang makan, atau sesekali ia menghampiri Saga yang tengah menjaga kasir hanya untuk mengobrol.

"Dasar, kau ini selalu saja seenaknya, Milie." Wajah saga yang mendorongnya menjauh terlihat biasa saja, sedangkan pria yang panggil Milie itu hanya tertawa memainkan rambut Saga. Mereka terlihat sudah terbiasa melakukan hal seperti itu.

Aku merasa seperti orang bodoh, berpikir bahwa aku spesial di mata Saga hanya karena dia berkali-kali mengatakan suka padaku. Aku lupa, bahwa kata 'suka' atau 'cinta' hanya kata-kata tak berarti yang bisa diucapkan siapa saja dan kapan saja tanpa memerlukan hati.

Dan sebuah penghianatan merupakan sesuatu yang sangat normal dilakukan oleh serorang manusia di dunia yang sudah busuk ini.

"Ah, gawat. Gawat, ada pelanggan yang melihat." Milie akhirnya menyadari keberadaanku, dia tertawa canggung, "Anggap saja tak lihat, ya?" kurasa karena ia mengenali wajahku sebagai pelanggan tetapnya.

Honey Traps [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang