Bagian 9

1.5K 178 30
                                    

Terbiasa akan keberadaan Yael, nyatanya tak seburuk yang kukira. Setelah kenal, aku menemukan beberapa hal baik dibalik keidiotannya. Kurasa aku yang salah, seenaknya saja menilai seseorang hanya dari gosip yang beredar. Harusnya aku mencoba mengenal pribadinya terlebih dulu. Walaupun itu sangat menyusahkan.

"Jadi, Bapak suka yang mana?" tanya Yael, mengangkat dua buah jaket yang ia rekomendasikan.

Saat ini kami sedang berbelanja bersama, mengisi waktu luang sepulang kuliah. Setelah aku berkata ingin membeli jaket baru, Yael dengan sangat memaksa menemaniku pergi. Ia bahkan membawaku ke beberapa toko yang bagus.

Aku menatap kedua jaket itu bergilir, tak ada bedanya bagiku. "Keduanya bagus," komentarku setelah beberapa menit.

"Ini berbeda, Pak Lane. Lihat baik-baik, model dan warnanya berbeda." Yael mulai dengan mengepas jaket itu ke tubuhku, mencoba menilai sendiri. Mungkin dia lelah melihat kurang antusiasnya reaksiku.

"Aku rasa, warna navy lebih cocok dengan Bapak. Menonjolkan warna kulit Bapak, tapi yang mocca ini juga bagus. Terlihat elegan." Mulut Yael tak bisa diam, sama dengan gerakan tubuhnya. Selalu bergerak tak hentinya ke sana dan ke sini.

"Yang mana saja tak masalah," ucapku, mulai lelah. Sebenarnya aku tak terlalu peduli apa yang kupakai selama itu terlihat rapi dan sopan, tetapi Yael tak mengerti maksudku.

Ia dengan semangatnya terus mencari, memilihkan yang menurutnya terbaik untukku. "Aku tahu, coba yang hitam ini! Kurasa Bapak terlihat lebih menarik dengan ini." Setelah bingung dengan dua pilihan yang ada, Yael menyerah. Ia malah mengambil yang lainnya, menambahkan pilihan ketiga.

"Baiklah, aku ambil yang ini," pasrahku.

Aku mengambil yang hitam, berniat membawanya ke kasir. Namun, Yael menarik tanganku, menahan pergerakkanku dengan wajah serius. "Bapak yakin? Kurasa yang ini lebih cocok ke Bapak." Dia mulai lagi dengan pilihan keempat.

Aku menatapnya datar, mulai merasa sangat yakin ini akan menjadi sangat lama jika tak kuselesaikan detik ini juga. Jadinya, aku menarik tubuhku darinya, "Yakin, aku sangat suka yang ini! Aku harus memiliki yang ini," menunjukkan antusias lebih untuk membeli.

"Pak Lane, nada bicara Bapak itu monoton sekali tahu. Setidaknya kalau mau berbohong, tambahkan usaha ke dalamnya." Yael mengerutu karenanya, sadar akan kebohonganku.

Apa boleh buat, ini semua melelahkan. Kurasa aku memang tak cocok melakukan kegiatan bersama dengan orang, berkompromi dan menyesuaikan diri membuat semua semangat dalam diriku menguap entah ke mana.

"Terserah. Aku ambil yang ini," putusku, segera membayar dan meninggalkan toko.

Yael terus saja mengoceh, mengikutiku dari belakang. Namun, tak kudengarkan sama sekali, keributan di sepanjangan area pertokoan di jam sibuk merupakan hal yang tak suka.

Akhirnya, dia kesal sendiri. Yael menghadang langkahku, dia berdiri di depanku dengan tatapan tak puas. Kedua tangannya berada di lenganku. "Bapak marah ya? Karena aku memaksa?" tatapan bak anjing terlantar itu sengaja ia gunakan sebagai senjata untuk meluluhkan hatiku.

Anak ini bodoh sekali. Hanya karena aku memberinya sedikit kesempatan dan berpikir kalau dia memilki satu atau dua kelebihan saja, dia sudah merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari kehidupanku. Kenyataannya, ia masih jauh dari bisa mengerakkan hatiku.

"Aku tidak marah, urusanku sudah selesai, jadi kupikir sebaiknya aku pulang sebelum gelap," jawabku.

"Eh, Bapak tak mau mampir makan dulu?" Yael mulai membujuk.

Ia merekomendasikan beberapa tempat makan, menunjukkan review dari tempat-tempat itu dari aplikasi di ponselnya. Sungguh kerajinan, itulah yang terlintas dalam pikiranku saat ini. Sangat disayangkan bahwa semua antusiasme dan usaha Yael digunakan untuk hal tak penting. Harusnya dia gunakan saja untuk menyelesaikan skripsinya. Memangnya mau sampai kapan dia jadi mahasiswa abadi di kampus?

Honey Traps [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang