Bagian 10

1.6K 155 11
                                    

Yael mendatangi ruanganku pagi-pagi sekali, ia tampak sangat sedih. "Pak Lane, yang kemarin itu yang di cafekan? Apa dia sungguh pacar Bapak?" Yael bertanya, memastikan kembali hubunganku dengan Saga.

Aku mengangguk, mengiyakan pertanyaannya. "Aku sudah pernah mengatakannya padamu, bahwa aku punya pacar," tegasku.

Di luar dugaan, Yael menunduk dengan lemas. Ia tidak menyangkal, memaksa atau menudingku berbohong lagi. "Begitu ya, jadi masalahnya bukan laki-laki atau perempuan. Bapak hanya tak suka padaku saja," gumam Yael, terdengar putus asa.

Aku tak membalasnya, kurasa kami berdua sama-sama telah mengerti bahwa ini adalah akhir dari permasalahan ini. Tentunya, aku juga tak berusaha menghibur atau berpura-pura baik padanya. Itu tak ada gunanya, bersimpati hanya akan membuat ia berharap kembali.

Aku mengambil rokokku, mengisapnya dengan tenang, keheningan menemani kami selama beberapa menit. Kulirik ekspresi wajah Yael, menghela napas dan memutar kursiku menghadap pada layar monitor.

"Tunggu apalagi? Pergilah, sembuhkan patah hatimu dengan mengerjakan skripsi. Selanjutnya, jatuh cintalah dengan orang yang bisa membalas perasaanmu," usirku.

Yael berbalik ke arah pintu, ia berjalan dengan gontai, tampak seperti seekor anjing yang habis dibuang, ekornya jatuh ke bawah. Terlihat sedikit menyedihkan, tapi ia akan segera bangkit lagi. Aku tahu itu, orang idiot seperti Yael akan sangat mudah melupakan sesuatu, termasuk cintanya padaku.

Kuletakkan rokokku ke dalam asbak, menyalakan PC. Sementara menunggu PC-ku menyala, aku mengecek keberadaan Saga dengan GPS dari ponselku. Entah apa yang menghantuiku, sejak aku yakin tak bisa hidup tanpa keberadaan Saga, aku jadi mulai menikmati kegiatan mengawasinya.

Selalu merasa curiga padanya, selalu saja memikirkan kemungkinan perselingkuhan Saga. Tak ada rasa percaya sama sekali yang tersisa untuknya. Aku bahkan tak yakin lagi apa Saga yang kukenal itu nyata, kurasa ia terlalu banyak menipuku selama ini.

Namun, meski demikian, hati yang ia curi tak bisa lagi kurebut kembali dan mungkin memang tak ingin kuambil kembali. Aku hanya akan menghancurkan hidupnya, membuatnya tak punya tempat pulang selain di dalam pelukanku.

"Lane, bisa tolong pergi ke perpustakaan kota? Aku butuh beberapa buku yang tak ada di sini," tanya Profesor Karl. Masuk ke dalam ruangan, membawa secarik kertas berisikan judul-judul buku lama yang sudah tak lagi dijual di toko buku.

Aku mengambil kertas itu, membacanya sebentar. "Prof, kurasa aku pernah melihat beberapa buku ini di toko buku bekas. Apa kau ingin aku pergi mengeceknya dulu?" Kemudian, ketika sadar akan adanya peluang untuk mencuri waktu, aku menawarkan sebuah pilihan.

"Boleh, kalau tak sibuk. Kalau bisa dibeli akan lebih bagus, kita tak bisa meminjam terlalu lama di perpustakaan," jawab Profesor Karl.

Aku mengangguk setuju. Buku yang ia butuhkan untuk riset selalu digunakan dalam jangka waktu lama, pria tua ini selalu memilih untuk membeli daripada meminjam bahkan ketika harganya begitu mahal. Aku sudah terlalu lama membantu risetnya, bukan hal yang sulit untuk menghapal kebiasaannya.

"Baiklah, kalau begitu aku akan coba cari dulu bukunya, baru pergi meminjam jika tak bisa kutemukan."

"Silakan gunakan waktumu, aku akan menggantikan mengajar kelasmu untuk siang ini."

"Terima kasih, kalau begitu aku keluar dulu," pamitku. Semua sesuai prediksi, dengan begitu aku punya banyak waktu kosong hari ini.

Aku meninggalkan kampus tak lama setelah berpamitan dengan Profesor Karl, mampir ke cafe Saga sebelum aku pergi ke toko buku. Namun, aku sengaja tidak menemui Saga dulu, melainkan berhenti di belokan sejarak sepuluh meter dari cafe.

Honey Traps [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang