Bagian 4

1.8K 223 27
                                    

Aku benar-benar ditegur, oleh Profesor Karl yang selalu mendukungku. Ia berdiri tegap di hadapan ku setelah mendengar rumor tentang kelakuanku yang memukul seorang mahasiswa.

"Aku minta maaf," cicitku, tak berani memandang wajahnya. Duduk dengan sopan dengan kedua tangan bertumpu pada lutut.

Aku sadar diri, perbuatanku pagi ini memang tak pantas dilakukan oleh seorang dosen. Tapi ini semua salah Yael! Salah sikapnya yang membuatku ketakutan.

"Pandang mataku jika kau benar-benar merasa bersalah, Pak Lane. Apapun alasannya, tak dibenarkan memberi hukuman secara fisik pada anak didik." Aku jadi tak enak, berusaha mengangkat kepalaku membalas tatapan pria tua satu ini. Tapi hasilnya malah membuatku kehilangan kendali atas emosiku.

"Masalahnya bukan pada sikapku, tapi kelakuan anak itu benar-benar keterlaluan! Dia... dia... membuatku merasa jijik, Prof!" Aku berteriak, meremas kepalaku frustasi.

Profesor Karl terjungkal kaget, "Okay, coba tenang sedikit..." Berbalik mencoba menenangkanku. "Aku tahu anak itu memang sedikit bermasalah, tapi kau juga salah mengambil tindakan." Meski ujung-ujungnya tetap bersikap selayaknya pendidik.

Profesor Karl menepuk pundakku, kemudian memberikan sebuah map berisikan data pribadi Yael. "Setelah menenangkan diri, pergilah temui dia dan bicara baik-baik." menyuruhku untuk masuk ke kandang hewan buas.

Aku mengerutu, menolak perintah tersebut. "Tidak ada bicara baik-baik, Prof. Lagipula tak ada masalah apapun yang perlu dibicarakan dengannya." Siapa yang mau? Pergi sendiri ke manusia berbahaya itu dan mungkin akan berakhir mendapatkan serangan mental yang tak diharapkan.

Yang jelas aku tak sebodoh itu untuk mengiyakannya.

"Tak ada? Apa kau tahu apa yang akan Direktur katakan jika masalah ini sampai pada orang tua Yael?" Tapi, seketika usai Profesor mengingatkan tentang pengaruh uang orang tua Yeal, aku terdiam dengan keringat dingin. "Kau tahu jelas bahwa ibunya merupakan salah satu donatur bukan?"

"Um, ya..." Inilah yang dinamakan kehidupan bermasyarakat, terkadang hal benar bisa menjadi salah dan kenyataan tak pernah penting bila lawannya seorang yang berpengaruh.

"Bagus, pergilah dan pastikan mulutnya terkunci. Ini demi masa depanmu sendiri, Lane." Aku tak punya pilihan lain, hanya bertindak seperti pecundang. Pergi menemui orang yang kuanggap tak berguna, berbicara manis padanya hanya karena dia tak pergi mengadu pada ibunya.

Aku masih ingin melanjutkan penelitianku, masih ingin mendapatkan gelar profesor dan masih berharap bisa mendapatkan posisi tetap di kampus ini.

"Baik, Prof." Jawabku lelah.

Kemudian aku mengambil jaket dan tasku, melirik pada jam setelah yakin tak ada yang perlu kulakukan lagi di kampus.

Profesor Karl menepuk pundakku sekali lagi, "Aku tahu ini tak adil dan menyebalkan. Tapi apa boleh buatkan? Kerja di manapun selalu ada bagian yang tak mengenakan. Mengalah sedikit ke anak kecil tak masalah bukan?" Ia mencoba menghiburku.

Aku tahu itu, tapi karena jengkel, aku hanya mengangguk patuh dan pergi mencari laki-laki bodoh itu.

Dan entah karena sedang beruntung atau sedang sial, tak butuh lima menit untuk menemukannya.

Yael datang sendiri padaku, tersenyum tolol melambaikan tangan dengan dandanan yang norak. Pakai topi dan jaket yang katanya sedang populer, sepatu yang katanya edisi terbatas dan tambahan riasan wajah sedikit supaya lebih menarik. Juga bau parfum yang jelas-jelas dipakai berlebihan hingga baunya menyengat.

"Apa Bapak terpesona padaku?" Ugh, kata-kata yang tak tahu malu. Apa dia tak lihat kerutan di keningku? Apa dia tak sadar jika tubuhku bahkan refleks mundur ketika dia mendekat?

Honey Traps [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang