"Kau sungguh sesuatu sekali. Aku tak percaya kalau perjaka sepertimu bisa begitu liar," keluh Saga. Ia berbaring dengan lemas di atas tempat tidur dan aku berada di sampingnya, duduk dengan manis membiarkannya menjadikan pahaku sebagai bantal.
"Bilang saja kau puas," balasku. Aku tidak pernah bilang kalau aku masih perjaka, Saga yang berspekulasi sendiri. Saat masih muda dulu, aku terbiasa bermain dengan kakak di samping rumah.
Kedua orang tuaku menikah hanya karena terganggu oleh pandangan masyarakat, tak ada cinta sama sekali di antara mereka. Tak ada sedikit pun keinginan untuk memainkan peran sebagai orang tua. Mereka hanya sesekali berhubungan badan untuk menghilangkan stres karena pekerjaan dan sialnya kecelakaan membuat mereka terpaksa memilikiku.
Mereka hidup demi karirnya, membiarkan nenek yang membesarkanku dan ketika akhirnya nenek meninggal karena usia, aku terpaksa tinggal dengan mereka. Saat itu aku baru masuk sekolah tinggi, baru pindah ke lingkungan yang asing dan tak memiliki siapa pun di sisiku. Ayah dan Ibu selalu pulang larut malam atau terkadang tak pulang sama sekali.
Mereka tak pernah cemas meninggalkan seorang anak lelaki remaja sendirian di rumah. Tak pernah menyangka bahwa seorang wanita kesepian yang tinggal di sebelah rumah akan datang mengoda anak mereka hanya untuk kesenangan.
Aku tak benar-benar mengenal kakak itu, tak tahu usianya dan bahkan namanya. Aku hanya mengikuti apa pun yang ia katakan, membiarkan dirinya mengajarkan padaku bagaimana orang dewasa bersenang-senang. Itu hanya rasa penasaran dan kesepian. Pada akhirnya hubungan itu berakhir tanpa berkata-kata tepat ketika aku pindah ke kota ini untuk kuliah.
Wanita dan laki-laki sama saja. Selama aku bisa merangsang titik sensitifnya, maka tak sulit untuk memuaskan mereka. Aku tak bermain dengan wanita dewasa selama bertahun-tahun tanpa memperlajari apa pun. Meskipun pada akhirnya aku tak pernah mencintai siapa pun dan tak pernah menjalin hubungan apa pun hingga aku bertemu dengan Saga.
"Kau begitu sombong. Kepribadianmu juga berubah banyak, atau jangan-jangan ini sifat aslimu?" Saga mulai mengeluh lagi. Menurutku, dialah yang lebih banyak menunjukkan perubahan atau lebih tepatnya berhenti memakai topeng laki-laki baik.
"Bukannya itu salahmu, kau membuatku menemukan banyak sisi lainku yang tak kukenal." Aku terang-terangan menyalahkan Saga, meskipun ia tak peduli dengan itu. Muka Saga tampak mengecut, tapi ia masih betah bermanja padaku.
"Kau sudah dewasa, kalau sampai begitu mudah terpengaruh olehku, maka itu salahmu sendiri." Saga bahkan berbalik menyalahkan diriku dan sejujurnya aku juga merasa demikian. Mungkin karena aku terlalu lambat dalam perkembangan emosi, hingga di usia setua ini masih bisa dengan mudah terpengaruh. Aku tak akan menyangkalnya, lagian tak ada gunanya.
"Baiklah, aku mengerti. Daripada itu, aku punya kenalan orang yang sedang cari kerja. Dia bukan lulusan sekolah memasak, tapi masakannya sangat enak. Kalau kau memperkerjakannya, kau tak perlu membayarnya sebesar gaji seorang chef. Lebih baik daripada membiarkan pelangganmu lari karena kelamaan tutup, bagaimana?" Lebih baik aku melanjutkan rencana selanjutnya, memberikan pertolongan yang sebenarnya selain hanya dengan bantuan secara mental.
Saga segera terduduk, ia terlihat antusias. "Benar? Sungguh ada? Aku tak tahu kau punya teman!?" tanya Saga. Agaknya meski penuh harap, ia tak serta-merta percaya padaku.
"Aku memang tak punya teman, tapi kalau cuma kenalan saja tentu saja ada," jawabku. Tak sulit menemukan orang yang ingin bekerja atau yang ingin mencari pekerja. Pada dasarnya, kebanyakan orang yang kukenal memang seperti itu. Datang ketika butuh bantuan dan menghilang setelahnya. Aku hanya perlu meladeni mereka dan membiarkannya hingga menjadi sebuah kebiasaan bagiku.
"Kalau begitu baguslah, kau bisa menyuruhnya datang besok, tak perlu interview segala," balas Saga.
Ia terlihat begitu polos di saat seperti ini, terlalu mudah tertipu hingga membuatku sedikit takut. Cemas kalau-kalau ia tahu apa yang sebenarnya ada dalam pikiranku dan diam-diam ingin berbalik menjatuhkanku. Aku tahu bahwa semua kecemasan itu datang dari pikiranku yang terlalu paranoid, tapi tetap saja aku tidak bisa menghentikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Honey Traps [END]
Short StoryLane seorang pria yang anti sosial, benci semua bentuk kehidupan dan interaksi antar manusia, seorang dosen sekaligus mahasiswa pascasarjana yang secara tak sadar telah masuk dalam jebakan Saga. Serorang pemilik cafe yang terletak tak jauh dari area...