Aku baru saja meninggalkan kampus saat Vasco menemuiku. Ia duduk di depan ruang kerjaku. "Ada apa?" tanyaku. Vasco berdiri, menghampiriku. "Aku tidak bisa menghubungimu, jadi kuputuskan untuk langsung menemuimu saja. Bos akan pergi dengan Milie nanti malam," lapornya.
Aku mengangguk, mengeluarkan sejumlah uang dari dompetku dan kusisipkan ke dalam saku bagian belakang celana Vasco. "Jam dan tempat," tanyaku. Vasco membisikkan jawabannya, kemudian ia berjalan pergi begitu saja melewatiku. Urusan kami sudah selesai, tak perlu ada lagi percakapan berbasa-basi.
Ini baru jam tujuh malam, masih tiga jam sebelum waktu janjian Saga. Maka dari itu, aku memutuskan untuk singgah ke kafe, berpura-pura berniat makan malam di sana.
Selama perjalanan, aku memeriksa ponselku, ternyata sudah mati kehabisan baterai. Pantas saja Vasco tak bisa menghubungiku tadi.
Sesampainya di kafe, kedatanganku disambut oleh karyawan yang lain. Sedangkan Saga tak terlihat di mana pun. Kuterima buku menu yang ia berikan, membolak-baliknya tanpa membaca. "Saga di mana? Apa dia sedang keluar?" tanyaku padanya.
Karyawan itu masih baru, dia belum mengenaliku. "Maaf, ada perlu apa ya dengan Bos?" ia bertanya dengan waspada. Mungkin khawatir aku orang mencurigakan atau mungkin karena peringatan dari Saga.
"Aku ada janji keluar dengannya, kami berhubungan sangat baik," bohongku. Aku tersenyum palsu, membangun kesan ramah demi menipunya.
"Oh begitu, Bos ada di dalam. Akan saya panggilkan. Apa ada lagi yang Anda butuhkan?" Dia tertipu, dengan polosnya tersenyum membalasku.
"Tolong paket A," jawabku, menunjuk pada salah satu menu yang tersedia. Setelah itu, pemuda itu pergi ke dalam. Meninggalkan aku dengan perasaan ngeri pada diriku sendiri.
Sejak kapan aku menjadi seperti ini? Bisa dengan mudahnya berpura-pura untuk menipu. Mau repot-repot berbasa-basi dan bahkan mulai membuat mimik wajah palsu. Aku merasa bukan diriku lagi, entah sejak kapan, aku mulai berubah menjadi sosok yang asing.
Semua ini karena Saga. Perasaanku yang terlalu besar padanya membuatku melakukan hal-hal gila. Perilakuku bahkan mulai mirip dengan penguntit, sedikit menyerempet ke tindak kriminal. Aku ingin tahu, apakah semua ini benar-benar sebanding dengan apa yang akan kudapatkan nantinya. Aku ingin tahu, apa suatu saat... hati Saga bisa kumiliki sepenuhnya, apakan ia akan bisa mencintaiku sebesar cintaku padanya.
"Lane, kukira siapa." Lamunanku buyar, Saga telah datang. Ia duduk di depanku, memasang wajah senang yang malah membuatku merasa sedih. Ada banyak perasaan saling bertentangan dalam hatiku, berteriak untuk berhenti, memintaku untuk menyerah padanya. Sekaligus keinginan kuat untuk tak akan pernah melepaskannya.
"Kau kira siapa?" Pertanyaan Saga kulemparkan kembali. Aku bertompang dagu, menatapnya dingin penuh rasa curiga.
Saga terlihat tak nyaman, ia mengalihkan tatapan matanya dariku. Dengan kedua tangannya yang terlihat gelisah, memainkan jari-jarinya. "Bukan siapa-siapa. Itu karena karyawanku mengatakan kalau orang yang mancariku sudah membuat janji denganku. Memangnya kita ada janji ketemuan hari ini?" Ia mulai mencari alasan. Meski memang akulah yang berbohong lebih dulu tadi.
Aku menggeleng. "Tidak, aku hanya ingin melihatmu." Perlahan kuulurkan tanganku, membelai pipinya perhatian. Memberikan senyuman terbaikku. "Malam ini, mau mampir ke rumahku?" Aku memintanya memilih secara tak langsung, memilih aku atau Milie.
"Maaf, kalau hari ini tak bisa. Aku sudah janji akan pulang ke rumah orang tuaku. Hari ini ulang tahun adikku." Dan Saga memilih Milie, dia memasang senyuman yang alami sambil berbohong padaku, membawa-bawa adiknya yang bahkan aku tak yakin benar ada atau tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Honey Traps [END]
Short StoryLane seorang pria yang anti sosial, benci semua bentuk kehidupan dan interaksi antar manusia, seorang dosen sekaligus mahasiswa pascasarjana yang secara tak sadar telah masuk dalam jebakan Saga. Serorang pemilik cafe yang terletak tak jauh dari area...