Aku melepaskan headset-ku, menyandarkan tubuhku ke sandaran kursi. Mataku tertuju pada tumpukan dokumen di atas mejaku, telah selesai diurus dan hanya tinggal menunggu tanggal keberangkatan.
Waktu datangnya dokumen ini benar-benar sangat tepat, bersamaan dengan masalah yang datang. Bencana yang kudengar dari penyadap yang terpasang di jam tangan hadiahku untuk Saga tempo hari.
Milie sialan itu benar-benar menantangku. Ia dengan nekat menemui Saga hanya untuk membongkar perbuatanku dan sekarang, yang bisa kulakukan hanya menunggu Saga datang kepadaku untuk melampiaskan kemarahannya.
Ancamanku tampaknya tak bisa lagi mengertaknya. Aku harusnya tahu saat bertemu dengannya di akuarium. Tatapan Milie padaku terlihat sekali penuh dengan kemarahan. Ia jelas tak senang kujauhkan dari Saga, sementara aku malah semakin dekat dengan Saga.
Tak lama, pintu ruang kerjaku terbuka. Profesor Karl masuk membawa sebuah amplop kertas yang kemudian ia oper padaku. "Tiketmu," ucapnya. Aku segera menerima tiket itu, memeriksa tanggal keberangkatan yang hanya tersisa enam hari lagi.
"Lebih cepat dari yang kuduga," komentarku.
Profesor mengangguk, mendudukkan dirinya di kursi. "Tak masalahkan? Pekerjaanmu di sini sudah hampir tak ada. Kau sudah membahas hal ini dengan pacarmu, kan? Pastikan kalian bicarakan baik-baik sebelum kamu berangkat." Ia terlihat sibuk dengan berkas kandidat asisten pengganti untukku, meskipun rasa cemasnya masih terasa sangat kentara dalam kalimatnya. Pria tua yang baik, kepeduliannya terlalu berlebihan untuk orang sepertiku.
"Sudah. Kau tak perlu cemas Prof, aku akan berangkat tanpa penyesalan yang tersisa di sini," balasku. Aku tak berbohong padanya, karena aku berniat menyelesaikan urusan dengan Saga sesegera mungkin.
Aku tak akan pergi meninggalkan masalah, karena aku tak ingin pulang ke tempat yang membawa penyesalan dua tahun mendatang. Inilah puncak dari permainan kami, akhir yang kusiapkan saat memulai semua hal gila itu.
"Itu bagus, kau bisa ambil libur mulai besok untuk berkemas," ucapnya kemudian.
Aku menarik sebuah senyuman, merapikan meja kerjaku sambil mendengarkan lebih jauh percakapan Saga yang sempat terputus tadi. Profesor sendiri telah sibuk dengan pekerjaannya, dia terbiasa bekerja denganku tanpa banyak percakapan yang berarti.
Setelah perdebatan Saga dan Milie berakhir, suara lainnya mulai terdengar. Bergabung dengan mereka, atau lebih tepatnya dipaksa untuk masuk ke dalam masalah mereka.
Vasco yang malang, ia terdengar terpojokkan dengan kejam. Dibentak oleh Milie yang sadar kalau salah satu rekaman yang kuperlihatkan dulu direkam oleh Vasco. Tak ada orang lain pada waktu video itu di rekam. Kesalahan kecilku, memilih video yang direkam dalam ruang ganti restoran di malam hari. Aku lupa kalau itu bukan tempat yang bisa sembarangan dimasuki dan ketika rekaman itu sampai pada Saga. Pacarku itu, pasti bisa menebak kira-kira siapa yang punya kesempatan untuk membuat rekaman tersebut.
Sisi baiknya, aku sudah memutuskan hubunganku dengan Vasco. Tepat ketika ia menerima beasiswanya, jadi aku tak perlu cemas Saga akan memecatnya setelah ia buka mulut. Cukup hidupku yang diacak-acak oleh Saga, aku tak ingin ada orang lain yang berubah menjadi sepertiku ketika hidupnya diacak-acak oleh egoku.
Aku selalu takut bohongan dan trikku terbongkar, selalu cemas Saga akan melihat sisi burukku. Namun, itu semua sudah cukup. Mungkin ini lebih cepat dari perkiraanku, tapi setidaknya sejauh ini semua masih berada di dalam kendaliku.
Setelah mendengarkan semua yang ingin kuketahui. Kumatikan perangkatku, bangkit berdiri membawa berkas-berkas yang kubutuhkan bersama denganku. "Kalau begitu aku pulang dulu, Prof," mengucapkan salam seperti biasanya, tanpa menunjukan isi pikiranku yang penuh dengan rencana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Honey Traps [END]
Short StoryLane seorang pria yang anti sosial, benci semua bentuk kehidupan dan interaksi antar manusia, seorang dosen sekaligus mahasiswa pascasarjana yang secara tak sadar telah masuk dalam jebakan Saga. Serorang pemilik cafe yang terletak tak jauh dari area...