Bersamamu, yang ku mau. Namun kenyataannya tak sejalan.
Sekali Ini Saja - Glenn Fredly
***
Gadis itu terdiam lama. Lama sekali. Yang ada di pikirannya hanyalah kira-kira apa masih ada alasan untuk melanjutkan hidup?
Tubuhnya masih dipenuhi beberapa selang walaupun tidak sebanyak sebelumnya. Dia sudah bisa duduk, minum dan makan. Tapi rasanya sia-sia untuk hidup.
Nadi mengalihkan pandangan, melihat bundanya sedang tertidur lelap di sofa. Rasanya seperti mimpi melihat bundanya ada di sampingnya seperti ini. Tapi sekali lagi, ini terasa sia-sia.
Nadi rindu ayahnya. Nadi ingin pergi bersama ayahnya, dia sudah benar-benar lelah dengan dunia.
Mata gadis itu berair, dia terisak kecil. Isakan itu membangunkan Anita. Wanita setengah baya itu langsung melompat dari tidurnya dan menghampiri Nadi dengan panik.
“Nadia, apa yang sakit nak?”
Nadi menutup matanya, menahan isakan yang semakin keras. Benar-benar terasa sia-sia, dia tidak punya alasan lagi untuk hidup.
“Nadi... jawab Bunda, jangan nangis gini---”
“---Nadi kangen Ayah...”
Anita terdiam seketika, dia meneguk ludahnya. Tangannya beralih mengelus rambut Nadi yang masih terus menangis.
“Nadi pengen ketemu Ayah.” gadis itu beralih menatap kedua mata bundanya yang sudah berkaca-kaca.
“Nadi pengen nyerah Bunda... Nadi capek.” dia terisak keras, mencengkram baju yang bundanya pakai.
Kemudian Anita menariknya dalam pelukan erat. Nadi meraung, mengamuk dan mengatakan kalau dia ingin menyerah. Anita menutup matanya erat, berusaha menguatkan dirinya sendiri karena dia sadar ini adalah buah dari apa yang dia tanam selama ini. Ini adalah salahnya, dan dia tidak bisa mengelak.
Cengkraman Nadi padanya semakin kuat, gadis itu terus meraung memanggil ayahnya. Anita hanya diam, membiarkan anak gadisnya itu mengeluarkan semuanya agar hatinya bisa terasa lega.
“Nadi nyerah aja ya Bunda, Nadi nyerah aja.” isakan terus keluar dari mulutnya.
Nadi berusaha melepas pelukan Bundanya, tapi Anita menahannya, tidak ingin pelukan itu terlepas.
“Bundaa, Nadi nyerah aja Bundaa---”
“NADIA!”
Nadi tergugu keras mendengar bentakan Anita. Dia tidak lagi memberontak tapi tangisannya makin keras.
“Bunda bentak aku. Bunda marah kan? Bunda, Nadi nyusul Ayah aja biar Bunda nggak usah marah lagi.”
Air mata yang ditahan-tahan Anita akhirnya jatuh karena kalimat yang sarat akan kepedihan itu. Wanita setengah baya itu meletakan wajahnya di kepala Nadi dan terisak di sana.
Hatinya terasa seperti tersayat-sayat mendengar Nadi terus berbicara seperti itu. Penyesalan menghantamnya tanpa ampun, seolah menuntutnya karena sikapnya selama ini. Dia merasa sedang di hukum.
“Bunda.... Bunda nggak usah ngerawat Nadi, biar Nadi nyusul Ayah aja ya?”
“Berhenti....” Anita melepas pelukannya, beralih menatap wajah Nadi yang sama basahnya dengan wajahnya sendiri.
“Berhenti... Bunda mohon,” tangan Anita terangkat dan menghapus air mata Nadi yang masih terus mengalir, “kalau Nadi pergi, nanti Bunda sama siapa dong? Nadi mau ninggalin Bunda sendirian? Bunda nggak marah sama Nadi, Bunda marah sama diri Bunda sendiri. Maafin Bunda karna gagal jadi Bunda yang baik untuk kamu, maaf.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Of The Antagonist
Teen FictionORDER DIARY OF THE ANTAGONIST VERSI CETAK DI INSTAGRAM @PENERBIT_RDIAMOND ATAU @INTANMHRNI1 Dia, adalah Nadia Azmira. Setiap orang yang melihatnya pasti akan menilainya sebagai 'Si Antagonis' yang tidak punya hati. Padahal, sesungguhnya banyak sekal...