15. Why?

194 16 1
                                    

🍁 🍁 🍁

Arju hampir terdiam 15 detik ditempat dengan ponsel menempel ditelinga ketika suara seorang pelanggan didepannya membuatnya tersentak kecil. Arju mengerjap beberapakali, mencoba menyadarkan diri setelah sebelumnya bertingkah bodoh padahal ia masih berada di kafe dan berniat melayani, tapi malah berhasil membuat pelanggan merenggut protes namun ditahan lantaran pelayan bodoh seperti Arju masuk kategori pelayan ganteng.

Apalagi rata-rata pelanggan adalah pelajar dan mahasiswi. Bukannya marah-marah malah mesem-mesem kucing meskipun dongkol sedikit menyadari pelayan tidak becus seperti Arju.

Alhasil, Arju memilih menengok kebelakang, memanggil Raja untuk menggantinya bekerja.

Pelanggan yang sudah antri reflek mendengus kecil. Sedikit kecewa, banyak dongkolnya. Iya ga? Yaiyala, setelah berkorban menahan pegal demi bersitatap langsung dengan barista seganteng Arju, tiba-tiba cowok itu seenaknya mengganti pelayanan oleh pegawai yang lain.

Arju hanya tersenyum canggung kepada para pelayan yang dominan kaum hawa tersebut.

“Maaf, ya...”

Mau tak mau yang lain membalas senyuman Arju dengan sebersit kedongkolan.

Arju cepat-cepat pergi, daripada kena protesan lagi. Arju yakin, pelanggan nya akan berkurang besok karena kelakuan bodoh ia sendiri.

Setelah sampai diluar, Arju berhenti di pinggir jalan, berniat melanjutkan panggilan telpon sebelumnya.

“Gimana, Gis?”

Lo yang gimana goblok. Gue telfon malah diem aja tiba-tiba mati. Mati beneran lo?”

Sibuk gue tadi.”

Lo dimana? Nggak sekolah lagi?”

“Lo dimana? Laper gak?”

Ada jeda sekian detik untuk Gisa menjawab pertanyaan dari Arju.

Gue diappart.”

“Makan yuk.” ajak Arju melanjutkan langkah, menyebrangi jalanan menuju gedung appartemen Gisa.

Hm, oke. Gue kebawah. Tunggu depan gedung aja ya.”

Arju mengangguk meskipun Gisa tidak dapat melihat dan segera mematikan panggilan. Laki-laki itu memasukan ponsel kedalam saku dan mempercepat langkahnya memasuki lobi. Sambil menunggu Gisa datang, Arju diam dengan seribu pikiran bergelut di kepala.

Kenapa tiba-tiba Gisa menyuruhnya untuk sekedar menunggu dibawah?

Kenapa Gisa seolah menahan Arju agar tidak memasuki rumah gadis itu lagi?

Arju menghela napas. Nampaknya, kenyataan yang tidak dapat Arju terima benar-benar terjadi.

“Gisa memang sering kesini, minta resep dan bilang kalo gue harus rahasiain ini dari lo, takut lo khawatir. Tapi gue pikir lo mendingan tau kondisi Gisa. Terakhir dia bilang, tidur dia udah lumayan tenang gara-gara hal yang menurut gue agak konyol sih. Setiap dia tidur bareng orang lain, bukan dalam konteks buruk, sekedar tidur. Dia sama sekali gak mimpi buruk, dan dia bisa tidur. Itu lo bukan? Bukan ya? Terus siapa? Gue masih bingung sih sama hal ini. Kok bisa? Cuman setelah gue fikir-fikir, mungkin someone yang dia maksud ada kaitannya sama rasa sakit yang ngebuat dia kayak sekarang. Ngerti kan maksud gue?”

Apa yang dikatakan Josep, sepupu sekaligus dokter konseling Gisa kembali terngiang di kepala Arju. Membuat laki-laki itu gila karena tidak fokus lantaran pikiran tersebut memakan banyak tempat dikepalanya.

Arju ingin melakukan banyak hal. Protes, bertanya, menuntut bahkan marah pada Gisa atas apa yang telah Gisa lakukan tanpa sepengetahuan Arju.

Jika kalian berfikir bahwa keluarga Arju tidak setuju dengan pertemanan Gisa dan dirinya, itu salah besar. Keluarga besar Arju banyak yang terjun dalam dunia medis atau kesehatan. Entah dokter kandungan, dokter gigi, dokter umum, psikolog dan juga dokter jiwa. Maka dari itu, keluarga besar Arju termasuk Mama dan Papa tidak pernah menilai gila seseorang yang memiliki trauma seperti Gisa.

My GisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang