😢

1.1K 177 18
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Satu hari lagi berjalan dengan tidak begitu mulus. Ada saja yang menyentil emosi Chenle. Dari kabar orang yang disukainya kini memiliki seorang pacar—dan pacarnya itu laki-laki!—sampai ada yang "tidak" sengaja mengejek dirinya karena teriakannya yang senyaring lumba-lumba itu dan kenyataan bahwa dirinya yang menyukai sesama jenis.

"Katanya laki-laki, masa suaranya seperti perempuan? Ahahahahaha..."

Yaaa kira-kira begitu ejekan yang terdengar dari telinganya.

Kalau menangis saat itu juga, Chenle akan dikira benar-benar seperti perempuan. Mau tak mau ia harus meredam rasa kemarahan dan kekecewaannya itu.

Ia hanya ingin berada di rumah sekarang. Ia ingin bertemu Renjun, menceritakannya, dan meminta kehangatan tulus darinya.

Padahal, ia baru saja pulih dari masa depresi yang dialaminya selama beberapa bulan yang lalu, namun dikembalikan kembali oleh kejadian hari ini.

Muak rasanya. Chenle tidak ingin merasakan hal ini lagi. Merasakan bagaimana pusingnya di saat menghapus segala pikiran negatif yang muncul bertubi-tubi, merasakan betapa ngilunya hati ketika mendengar kata-kata yang memang disengajakan untuknya, bahkan dirinya sudah hafal rasa basah yang selalu berbekas pada kedua pipi tembamnya—kini tirus akibat kurang makan—ketika air matanya meluncur dari pelupuknya.

Begitu pun pada saat ini, di kamar tidurnya yang gelap, ia merasakan ketiga hal tersebut. Lagi.

Untungnya besok adalah hari libur, dan kedua orang tuanya pun masih sibuk bertugas di negara lain, jadi Chenle benar-benar mengeluarkan rasa sakit yang ada sekencang mungkin.

Namun, Chenle lupa. Ya, lupa jika ada sosok yang bukan manusia berada di sampingnya.

Renjun.

Sedari tadi, sosok itu hanya menatap diam Chenle. Ia jadi turut sedih melihat keadaan sosok yang ia sayangi menjadi berantakan seperti ini. Dari yang semula mengeluarkan isakan kecil, menjadi suara tangisan yang begitu jelas. Bahkan Chenle merubah posisinya dari yang semula berbaring ke arah tembok menjadi duduk dengan memeluk kedua kaki mulusnya.

Siapa sih, yang tahan untuk tidak memeluk orang yang Anda sayangi jika orang tersebut sedang menangis?

Renjun, yang semula sedang berbaring, bangkit dari tempatnya dan menghampiri Chenle. Ia duduk di sampingnya, dan memeluk pemuda yang sedang menangis tersedu-sedu. Chenle menerima pelukan itu, dan malah, ia memeluk erat Renjun, sampai mencengkram erat pundak kirinya. Anggap saja jika Chenle sedang memberitahu dirinya, bahwa betapa sakitnya hati dan pikirannya saat ini.

"Menangislah sepuasmu. Jika ada yang ingin kau ceritakan, ceritakan saja."

Tiga puluh menit terlewati, akhirnya air mata Chenle berhenti mengalir. Isakan kecil masih terdengar dari mulutnya. Kedua matanya yang bengkak hanya menatap kosong ke depan. Kedua kakinya ia peluk dengan lemas. Di sampingnya, Renjun, merangkul pundak yang lebih muda dan mengelus pelan kepala Chenle yang tengah bersandar di pundak kirinya. Tangan yang satunya ia gunakan untuk mengatur selimut agar kaki-kaki mereka terbungkus oleh benda berbahan kain tersebut.

One of These Nights [RenLe]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang