♫ "Back to Black" - Amy Winehouse ♫
Lega rasanya bisa meninggalkan kantin dan menjauhkan diri dari bisik-bisik yang menyebalkan itu. Mungkin besok-besok aku bakal makan siang di loteng saja.
Perjalanan menuju loteng terasa lebih cepat dari biasanya. Cuacanya sedang panas sekali – ada yang bilang panas di Jakarta lumayan mematikan. Tapi aku nggak peduli, setidaknya di loteng tak ada yang bakal menunjuk-nunjukku dan kepo menggosipiku.
Angin yang sejuk berhembus menyapu tengkukku ketika kami tiba di loteng. Belum sempat aku menikmati angin sepoi itu, Tara menarik tanganku keras-keras.
"Aaw! Kenapa sih, Ra? Sakit, tahu!"
"Ssstt! Lihat tuh!"
Tara menunjuk sekelompok siswa yang berdiri di balik naungan bayangan salah satu bangunan. Ada tiga orang gadis, sepertinya mereka kakak kelas. Rasanya aku pernah melihat ketiga gadis itu di suatu tempat. Eh, ada satu orang lagi! Sosok yang terakhir tidak begitu kukenali, karena ketiga gadis itu sedang mengurungnya.
"Eh, itu kan si Carl!" kata Tara.
Aku bisa melihat Carl di kelompok itu. Kulitnya yang putih agak kemerahan kena panas. "Ngapain dia di sini?"
"Mana gue tahu. Udah ah, Jen. Kita balik aja. Itu The Queens!"
"The Queens? Siapa mereka?"
"Mereka senior dari kelas dua belas Supernova. Bukan tipe kakak kelas teladan," kata Tara, suaranya kedengaran gawat. "Mereka cewek-cewek paling populer di sekolah ini sekaligus tiga pengendali super kuat, jadi nggak ada yang berani macam-macam sama mereka."
Aku langsung ingat sekarang. Gadis paling tinggi di antara ketiga gadis-gadis itu adalah cewek berkacamata hitam yang berpapasan denganku di lapangan parkir dan menyetir Lamborghini. Kedua temannya juga muncul di lapangan parkir hari itu.
Kutunjuk si gadis jangkung. "Lo tahu nggak siapa cewek itu?"
"Itu Anne-Marie."
"Anne-Marie?"
"Queen Bee-nya The Queens," bisik Tara.
Tanpa kacamata hitam, Anne-Marie kelihatan sangat cantik sekaligus dingin, seperti salju.
"Udah yuk, Jen!" Tara mulai merengek. "Kita balik aja!"
"Tunggu dulu, Ra!" cegahku. "Lihat, tuh! Si Carl lagi diapain?"
Anne-Marie menghampiri Carl dan mengapit lengannya. Temannya, gadis berambut hitam kemilau bersandar manja di punggung Carl sementara yang satunya lagi, gadis berambut ombak keemasan mengelus-elus dada Carl. Mereka bertiga sedang menggoda Carl.
Aku bergidik. "Apa nggak sebaiknya kita lapor guru?"
"Jen!" Tara menarik tanganku. "Kita harus balik sekarang, oke? Mereka The Queens! Gue nggak berani macam-macam sama mereka. Kalau si Anne-Marie ngeliat kita, bisa mampus kita!"
Anne-Marie menarik kepala Carl, mereka nyaris berciuman. Kedua temannya bergelayut di dada dan punggung Carl, seolah berniat melebur bersamanya. Aku tambah geregetan. "Kok si Carl diam aja? Harusnya si Carl ngelawan, dong! Memangnya dia punya kekuatan pengendalian apa?"
"Sama kayak lo, dia juga nggak tau dia pengendali apa. Udah yuk ah!"
Wah, jadi Carl juga bukan pengendali? "Tetap aja, kita nggak boleh ngebiarin ini, Ra! Ini ilegal! Carl masih enam belas tahun!"
"Lo tahu dari mana umurnya? Ngobrol sama Carl juga belum."
"Nebak aja."
"Awas!"
Tara menarikku tepat ketika Anne-Marie berbalik ke arah kami. Sambil mengendap-endap kami bersembunyi di balik tumpukan kardus di belakang gudang. Posisi ini lebih dekat dengan Carl dan The Queens dan aku bisa melihat apa yang mereka lakukan dengan lebih jelas.
"Aduh, barang-barang ini..." Tara mengayunkan lengannya. "Nutupin aja."
GUBRAAAK!
Sebuah kardus besar yang terguling akibat hantaman tangan Tara. Televisi tua di dalamnya terguling pecah. Bunyi gedubrak itu bertambah nyaring ketika pigura-pigura lusuh, penyedot debu rusak dan sapu-sapu yang diletakan di atas kardus juga ikut berjatuhan.
"Sori," kata Tara kikuk. "Nggak sengaja. Nggak kelihatan soalnya..."
"Ngumpet! Cepat!"
Kami menunduk dan merangkak ke dalam gudang yang penuh sarang labah-labah. Gudang itu gelap dan apek. Aku berusaha sediam mungkin sampai menutup mulutku supaya napasku tidak terdengar.
Terdengar seruan-seruan risau dari luar gudang. Anne-Marie mengatakan sesuatu, tapi aku tak bisa menangkap kata-katanya. Kemudian ada suara langkah-langkah kaki. Ada yang bergerak ke arah gudang.
Aku menutup mata. The Queens akan memeriksa gudang ini!
Pintu geser gudang tergabruk membuka. Seseorang masuk ke dalamnya. Tapi sosok itu berhenti tepat di depan tumpukan barang-barang yang dijatuhkan Tara. Di belakangnya, aku dan Tara bersembunyi ketakutan.
Lima menit berlalu. Suasananya menjadi sangat hening. Aku memberanikan diri mengintip keluar persembunyian.
Tidak ada siapapun di luar.
"Mereka udah pergi," kataku, akhirnya bisa bernapas lega. "Mereka itu tadi sedang apa, sih?"
"Gue nggak peduli, oke?" kata Tara, kelihatannya trauma. "Gue nggak liat kejadian barusan."
"Harusnya tadi kita rekam supaya bisa dilaporin ke guru BK!"
"Gue-nggak-PE-DU-LI," bentak Tara kesal. "Gue nggak mau berurusan sama The Queens, oke? Makasih. Titik."
Kami menghabiskan lima menit kemudian untuk merengangkan punggung yang tadi tertekuk akibat bersembunyi. Kemudian aku sadar kalau suasana di sini sudah menjadi terlalu hening.
"Kayaknya jam istirahat udah selesai deh, Ra..."
Tara menatap jam tangannya. "Mampus! Kita telat!"
"Memangnya sekarang kelas apa?"
Tampang Tara kelihatan horor. "KIMIA!"
KAMU SEDANG MEMBACA
THE NEW GIRL [SELESAI]
FantasyAku kaget sekali karena sekolah baruku adalah sekolah untuk pengendali, sebutan untuk anak-anak berkekuatan super! Misalnya nih si Tara, cewek yang duduk di sebelahku. Dia bisa mengendalikan waktu. Terus ada Reo, cowok cakep yang tampangnya mirip ar...