29. Triumph

4.1K 668 32
                                    


Aku menatap ke luar jendela mobil. Perutku terasa melilit.

Ini bukan rasa sakit yang sama seperti yang kualami ketika pertama kali tiba di lapangan parkir SMA Cahaya Bangsa. Kali ini perutku sakit karena terluka.

"Sebenarnya kamu nggak harus masuk kok hari ini, Jen," kata Arini baik hati. Dia mengusap-usap pundakku, memberi dukungan. "Nyonya Darmawan kan nggak setuju kamu masuk sekolah."

"Tapi hari ini penting banget, Arini." Coba kusembunyikan ekspresi menahan sakit itu. "Pemenang Casa Poca bakal diumumkan hari ini."

Tok... tok... tok...

Ada yang mengetuk kaca mobil. Ternyata itu Bu Olena.

"Pagi, Jennifer," sapa wali kelasku itu sambil tersenyum keibuan. "Bagaimana, sudah mendingan?"

"Lumayan, bu."

"Kamu tahu kan kalo kamu nggak perlu masuk hari ini?"

"Iya, saya tahu bu..." Oh, rupanya mereka semua sangat peduli padaku. "Saya cuma mau dengar pengumuman aja."

"Kalau sudah selesai, kamu bisa langsung pulang lagi, ya."

"Baik, bu."

Sopir kami turun dari kabin depan dan mengeluarkan kursi roda elektrik dari bagasi limusin. Mom meminta Arini menyiapkan kursi roda seperti ini karena beliau khawatir pada keadaanku. Aku merasa cukup kuat kok untuk sekedar mendengar pengumuman, tapi lagi-lagi Arini nggak berani membantah perintah Nyonya Darmawan, ibuku. Untungnya kursi roda ini menggunakan teknologi paling mutakhir dari Inggris dan bisa jalan sendiri, jadi aku nggak kelihatan sakit parah-parah amat dengan mengendarainya.

Ternyata di lapangan parkir sudah ada teman-teman sekelasku. Mereka menyambutku dan membantu mendorong kursi rodaku – meski sebenarnya nggak perlu. Tangis Wynona, Emma dan Hanna pecah dan mereka berbondong-bondong memelukku.

"Kita semua udah tahu kejadiannya, Jen," kata Wynona sambil sesengukan. "Gila, lo berani banget ngelawan Anne-Marie dan tiga pengendali seorang diri."

"Waktu lo koma, kita semua datang menjenguk," lanjut Emma lagi. "Kita cemas banget, tapi untungnya sekarang lo udah sadar."

"Kita nggak bakal rela kalo terjadi apa-apa sama lo," sambung salah satu dari si kembar Nugroho. "Karena lo udah nolongin kita dari si monster."

"Kalo lo kenapa-napa, siapa yang bakal nolongin kita lagi?" dukung saudara kembarnya.

Kami semua tertawa mendengarnya. Melihat betapa besarnya perhatian teman-teman sekelasku membuatku merasa sangat terharu. Bu Olena diam-diam mengeluarkan sehelai tisu dan menyeka matanya.

Setelah selesai berpelukan – Karina hampir-hampir nggak mau melepaskanku – kami bergerak menuju lapangan sekolah. Rupanya hari ini tak ada upacara, karena bendera Merah Putih sudah berkibar di tiangnya. Anak-anak yang lain mulai berbisik-bisik ketika melihatku, rasanya persis seperti hari pertamaku ke sekolah, hanya saja kali ini aku bisa merasakan bahwa mereka bukan berbisik-bisik kepo.

Di barisan kelas dua belas, Jovan, Ardhan, dan Raka bergerobol di sudut dalam formasi boyband, ditemani teman-teman sekelas mereka. Jovan menatapku lalu memutar kepalanya sedikit, mirip seperti anjing yang kebingungan. Raka dan Ardhan juga memandangiku, tetapi ketika tertangkap basah mereka langsung membuang muka dan pura-pura mengobrol. Di barisan-barisan lain, anak-anak yang lain juga mengamatiku. Chelsea The melambai bersahabat padaku dan aku membalasnya – aku sama sekali nggak dendam padanya karena apa yang dia lakukan waktu itu bukanlah kemauannya, tapi Anne-Marie.

THE NEW GIRL [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang