♫ "Everybody Talks" - Neon Trees ♫
Aku menatap Arini dan menggeleng. "Nggak diangkat."
"Pasti Tuan Darmawan lagi sibuk."
"Tanggal berapa Mom baru balik ke Jakarta?"
"Dua puluh satu."
Dua puluh satu. Aku menghitung dalam hati. Itu artinya masih sepuluh hari lagi sampai aku bisa ketemu Mom dan bercerita langsung soal sekolah baruku. Kalau sedang keluar untuk urusan bisnis, kedua orangtuaku cenderung nggak mau diganggu. Makanya mereka menitipiku pada Arini.
"Memangnya kenapa, Jen? Kamu mau cerita soal apa?"
Aku menatap Arini. Wanita itu sudah menemaniku sejak usiaku sepuluh tahun. Aku mempercayakan semuanya pada Arini.
Baiklah kalau begitu.
"Ehm, begini. Apa Arini tahu dari mana Mom tahu soal SMA Cahaya Bangsa?"
"Oh, sekolahmu itu..." kata Arini lambat-lambat, seolah dia sudah tahu aku akan menanyakan soal itu. "Duta Besar Johnson yang kasih tahu Tuan Darmawan soal itu. Mereka berkenalan dalam suatu jamuan makan malam dengan perwakilan pemerintah Inggris. Kata beliau anaknya juga sekolah di sana."
Duta Besar Johnson? "Ooh..."
"Kamu mungkin udah ketemu sama anaknya Dubes Johnson. Dia juga kelas sepuluh, sama kayak kamu. Kalau nggak salah, nama anaknya Carla..."
Aku menyahut otomatis. "Carl Johnson?"
"Iya." Arini mengernyit. "Kok kamu tahu?"
"Kami sekelas," jawabku mengamini. Jadi ayah Carl adalah Duta Besar Inggris untuk Indonesia! "Terus, apa lagi yang Dad tahu soal SMA Cahaya Bangsa?"
"Dubes Johnson memberi rekomendasi yang positif soal sekolah itu ke Tuan Darmawan," jawab Arini. "Beliau nggak ngomong macam-macam tentang sekolah itu. Sekolah itu juga sepertinya punya reputasi yang bagus. Katanya, sekolah seperti SMA Cahaya Bangsa adalah satu-satunya di Indonesia."
Satu-satunya. Jelas, kan? Aku menelan ludah. Mana ada sih sekolah pengendali semacam itu?
"Kenapa, Jen?" tanya Arini. "Kamu nggak suka sekolah baru kamu?"
Aku menatap Arini dan menimbang-nimbang. Apa aku harus memberitahunya soal para pengedali di sekolah itu? Jika Arini tahu, pasti dia tak akan percaya. Arini tampaknya sama sekali tidak tahu menahu soal sekolah macam apa SMA Cahaya Bangsa itu.
"Nggak kok," kuputuskan untuk berbohong. "Sejauh ini oke-oke saja..."
...
Keesokan harinya aku datang ke sekolah dengan perasaan yang lebih baik. Kupikir di SMA Cahaya Bangsa kami hanya akan belajar segala sesuatu tentang Kekuatan saja, tapi rupanya mata pelajaran normal lainnya juga diajarkan. Apa yang didapatkan oleh siswa SMA pada umumnya juga kami pelajari.
Pelajaran jam pertama sampai ketiga hari ini adalah Biologi. Gurunya adalah Bu Nanda. Karena mempelajari tentang perkecambahan pada tanaman kacang hijau, kami belajar di rumah kaca satu yang terletak di bagian samping sekolah. Kami dibagi dalam kelompok-kelompok kecil, satu kelompok tiga orang. Tara dan Meredith kembali bergabung dengan senang hati bersamaku.
Bu Nanda meminta kami menanam benih kacang hijau dan harus mengamati proses perkecambahannya pada minggu-minggu berikut. Itu berarti kami harus menjadi pengunjung rutin rumah kaca dalam tiga minggu ke depan.
"Eeeh... Mana boleh kayak gitu, Ra!"
Meredith baru saja menghardik Tara yang terus-terusan merengek supaya dia menggunakan pengendalian tanamannya pada si benih.
"Ya elah. Pelit banget, Dith! Lo kan bisa mempercepat pertumbuhan kecambah ini hanya dalam tiga detik!" rengek Tara. "Gue orangnya nggak sabaran, oke? Butuh ratusan tahun sampai kecambah ini tumbuh! Gue nggak bisa menunggu selama itu! Adanya gue keburu mati!"
Sama, aku juga, pikirku. Aku nggak begitu suka Biologi. Karena bosan, kubiarkan Meredith mengambil alih kecambah-kecambah kami sementara aku menonton teman-teman yang lain menanam.
"Nggak usah lebay, Ra," hardik Meredith galak. "Lo kan tahu kalau kita dilarang pakai kekuatan kita untuk pelajaran yang lain. Selain itu, Bu Nanda juga pengendali tanaman. Dia pasti bakal tahu kalau ada yang nggak beres sama kecambah kita!"
"Eh, si Carl nggak ada..." Aku memberitahu kedua temanku itu, sekedar untuk menghentikan perdebatan mereka. "Coba kalian perhatikan, deh."
Meredith mengangkat kepala dan memeriksa seisi kelas. "Oh, ya?"
"Ke toilet kali," celetuk Tara.
"Ya nggak usah pake jutek gitu dong," balas Meredith, kedengaran annoyed.
"Si Jen kayaknya terobsesi banget sama si Carl," kata Tara. "Dia ke toilet aja diperhatiin gitu..."
"Eh, gue serius, Ra," kataku. "Sejak kita masuk kelas, si Carl nggak kelihatan."
"Sakit kali," sahut Tara pendek.
Diam-diam, kutarik kursiku ke arah Billy, si ketua kelas. Untungnya perhatian Bu Nanda sedang teralihkan pada salah satu dari si kembar Nugroho yang ketahuan berusaha menukar kecambahnya yang entah bagaimana ceritanya, sudah gepeng.
"Psst. Billy!"
"Oi?"
"Si Carl nggak masuk, ya?"
Billy mengecek daftar absen. "Enggak kok, Jen. Semuanya masuk hari ini."
Hmm, terus si Carl menghilang ke mana? Aku melirik Meredith, meminta dukungan. Carl resmi menghilang dari kelas! Kenapa tidak ada yang menyadarinya? Tara jelas nggak begitu peduli pada Carl, jadi kurasa nggak perlu repot-repot menanyainya.
Terdengar dentingan kaca pecah. Karina berseru minta maaf karena telah memecahkan petridis. Bu Nanda kelihatan berang sekali, seolah yang dipecahkan oleh Karina adalah masa depan hidupnya.
"Sa-saya akan minta tolong Pak Yu-Tsin!" cicit Karina gemetaran.
Tara mengacungkan telunjuknya dengan malas. Pecahan-pecahan kaca itu melompat kembali ke atas meja dalam bentuk wadah petridis yang utuh. Tapi kemudian, seolah kembali tersenggol sesuatu yang kasat mata, petridis itu kembali melayang jatuh dalam gerakan slow-motion.
"Tangkap tuh, Rin!" kata Tara.
Karina mengulurkan tangannya untuk menangkap si petridis tepat sebelum jatuh kembali membentur lantai. Petridis itu berhasil diselamatkan! Aku dan anak-anak yang lain terbengong-bengong. Bu Nanda seperti ingin menegur Tara, tapi niatnya itu dikalahkan oleh rasa senangnya melihat petridis itu batal pecah. Ternyata itu kekuatan Tara!
"Buset, si Karina ceroboh banget! Selalu menyenggol ini itu sampai berjatuhan. Padahal dia kan bisa mengendalikan gravitasi!" bisik Tara sambil memutar matanya, memprotes. "Omong-omong, gue pengendali waktu. Gue bisa me-"
"Lo nggak bisa memutar waktu ke depan," potong Meredith cepat-cepat. "Jadi jangan sebut diri lo pengendali waktu!"
"Belum bisa!" bela Tara sengit. "Hanya Tuhan yang tahu soal masa depan! Lo sendiri juga nggak bisa menumbuhkan tomat, kan?"
Wah, mereka berdua mulai berdebat lagi.
"Gue nggak bisa karena gue benci tomat," sahut Meredith sambil menuding-nuding Tara. Temanku yang satu itu sudah menggulung lengan bajunya. "Tapi lo-"
"Halo?" tegurku agak keras. "Lo berdua lupa ya kalau gue masih ada di sini? Lebih parah mana coba, gue nggak bisa menumbuhkan tomat sekaligus melihat masa depan!"
"Kalian bertiga!" hardik Bu Nanda galak. "Ngobrol terus dari tadi! Cepat selesaikan proses penanamannya! Ingat, kita masih harus buat laporan hasil pengamatannya!"
Kami bertiga mengunci mulut rapat-rapat dan kembali bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE NEW GIRL [SELESAI]
FantasyAku kaget sekali karena sekolah baruku adalah sekolah untuk pengendali, sebutan untuk anak-anak berkekuatan super! Misalnya nih si Tara, cewek yang duduk di sebelahku. Dia bisa mengendalikan waktu. Terus ada Reo, cowok cakep yang tampangnya mirip ar...