"Mobil itu bakal dikirim hari ini juga dari Singapura."
Aku mengembalikan ponsel Arini padanya. "Kenapa sih Mom nggak mau mengangkat telepon?"
"Mungkin beliau sibuk," jawab Arini, kedengaran agak pasrah. "Tapi kamu tenang aja, Jen. Mobil itu pasti sampai, kok."
Sibuk memang jawaban standar yang selalu diberikan Arini kalau kedua orangtuaku nggak menjawab panggilan telepon dariku. Bukannya Arini berbohong atau aku nggak percaya kedua orangtuaku betulan sibuk, hanya saja di momen-momen tertentu aku berharap mereka mau menjawab panggilanku. Salah satunya adalah seperti yang sekarang ini. Selain dukungan dana, aku berharap Mom juga mau memberiku dukungan moral.
"Oke, deh..." Mau bagaimana lagi... Setidaknya Arini memang selalu memegang janjinya. "Terima kasih banyak, Arini."
"Sama-sama, Jen."
Meredith, Tara dan Karina datang menghampiriku.
"Gimana, Jen?" tanya Tara bersemangat. "Bisa, nggak?"
Aku mengangguk. "Bisa."
Tara menjotos udara dengan senang. Karina melompat-lompat.
"Tapi kita nggak merepotkan lo kan, Jen?" Billy yang ikutan nimbrung, kelihatan agak malu. "Maksud gue, lo nggak harus menyiapkan semuanya untuk tim kelas kok, Jen. Kita masih bisa rembukan dan patungan buat dananya."
Mengumpulkan dana sama sekali nggak sulit kalau teman-teman sekelasmu semuanya anak-anak konglomerat, tapi aku betul-betul nggak keberatan menjadi sponsor tunggal.
"Nggak apa-apa, Bil," jawabku manis. "Gue senang bisa menyiapkan akomodasi buat tim kelas kita. Soal mobil, itu adalah van yang dimodifikasi sehingga bisa jadi base camp kita dan muat untuk lima anggota tim support."
"Terus makanan bagaimana?" tanya Tara tanpa tedeng aling-aling. Billy tertunduk malu.
"Nggak perlu khawatir. Gue udah pesan katering."
"Mantaaaap!"
Rasanya senang sekali bisa melakukan sesuatu untuk teman-temanku! Dari rapat kemarin, kami setuju bahwa tim support perlu mobil untuk mengikuti perwakilan kelas selama Casa Poca dan konsumsi untuk teman-teman lain yang menonton di sekolah. Masalah mobil dan katering itu bukan hal yang merepotkan dan sebagai satu-satunya non-pengendali di kelas, aku ingin berkontribusi sebanyak mungkin untuk Casa Poca ini. Semoga saja dengan menjadi sponsor tunggal tim support kelas seperti ini, mereka paham bahwa aku bukanlah cewek arogan sok ngartis.
Ada bunyi gedebuk keras. Aku, yang mengira si kembar Nugroho main-main lagi dengan meja guru, langsung menoleh ke sumber bunyi.
Sebuah boneka beruang raksasa setinggi dua meter duduk di depan Meredith. Temanku itu tertawa geli menatap si boneka sampai terbungkuk-bungkuk. Sebelumnya, si beruang adalah tumpukan kursi.
"Aku cuma kepikiran itu," kata Carl sambil ikut tertawa dan menunjuk si boneka beruang.
"Kekuatannya oke juga," celetuk Tara dari sebelahku. "Siapa yang menyangka bahwa Carl yang kita kira bukan pengendali ternyata punya kekuatan yang unik?"
"Hanya ada sepuluh pengubah wujud di seluruh Indonesia dan hanya tiga yang pernah bersekolah di Cahaya Bangsa," kataku, mengutip kata-kata Pak Yu-Tsin. "Jadi Carl termasuk pengendali langka."
"Enak banget, ya," kata Tara lagi, kedengaran agak iri. "Dia bisa mengubah benda apapun jadi benda lain sesuka dia."
"Nggak semuanya, Ra. Kekuatan Carl juga ada batasnya..." Aku teringat kejadian kemarin. Setelah berhadapan dengan si singa berlian yang diubah jadi boneka, Pak Yu-Tsin mengetes kekuatan pengendalian wujud milik Carl. "Kekuatannya nggak bisa dipakai untuk mengubah makhluk hidup, makanan, dan uang."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE NEW GIRL [SELESAI]
FantasiaAku kaget sekali karena sekolah baruku adalah sekolah untuk pengendali, sebutan untuk anak-anak berkekuatan super! Misalnya nih si Tara, cewek yang duduk di sebelahku. Dia bisa mengendalikan waktu. Terus ada Reo, cowok cakep yang tampangnya mirip ar...