3. Lagi dan lagi

4.6K 278 27
                                    

[]
Seperti sebuah rencana

Namun bukan rencana
[]

Takdir atau hanya kebetulan? Selama memasuki kampus ini Vacha malah lebih sering mendengar nama Naufal si presiden mahasiswa. Sedangkan nama Gisel_sepupu yang sangat ia angung-angungkan tidak pernah disebut. Atau mungkin saja si Gisel memang tidak terkenal.

Vacha berjalan memasuki aula satu yang mulai dipadati oleh berbagai manusia. Ada yang hitam, putih, tinggi, pendek, berambut panjang, berambut pendek, gemuk, dan kurus. Tapi intinya mereka sama-sama mahasiswa baru terkecuali mereka yang mengenakan almamater maron.

Vacha mulai mencari barisan dari fakultasnya. Keramaian ini cukup membuatnya kewalahan sampai rasanya ia ingin naik ke atas panggung lalu mengumumkan agar mahasiswa dari fakultas ekonomi segera mengangkat tangan. Mulai melantur.

"Aww," ringis Vacha ketika seorang pria berbadan gemuk malah menabrak dirinya.

"Kamu nggak punya mata apa?!" bentak pria itu.

"Hellow, yang nabrak siapa yang marah siapa?"

"Makannya punya badan di besarin dikit biar kelihatan."

"Ehk gentong! Badan lo tuh yang kelewatan gedenya."

"Itu berarti sehat."

"Kedoyanan yang ada."

"Abaikan. Nama lo siapa?"

"Dih, gaje."

"Gini nih perusak kaum hawa, ditanyain nama malah bilang gaje."

Vacha malah mengabaikan pernyataan itu dan malah mengedarkan pandangannya

"Ok, gue panggil lo dengan nama kerdil."

"Ehk, enaka aja. Nama gue Vacha bukan kerdil, gentong."

"Nama gue Andi, bukan gentong."

"Au ah,"

Seorang gadis berambut sebahu dengan kacamata bulat yang ia kenakan berlari ke arah Andi persis seperti seorang anak bertemu dengan ibunya "Gentooong!" teriaknya.

Gadis itu kini berdiri di hadapan Andi dengan nafas yang saling bekejaran. "Lo ini jahat banget ya,"

"Makanya jangan lelet." acuh Andi.

Kini gadis itu menoleh ke Vacha, "Ehk, ada orang." cengirnya yang dibalas senyuman canggung dari gadis itu.

"Dia Vacha." kata Andi yang sepertinya bisa membaca pertanyaan yang akan terlontar dari mulut gadis berkacamata bulat itu.

Gadis itu mengangguk mengerti, "Gue Camberli dari fakultas Ekonomi."

Fakultas Ekonomi, itu berarti Vacha tidak perlu bertamasya di dalam gedung persegi ini untuk mencari kelompoknya karena sekarang teman kelompoknya sendiri yang mendatangi dirinya. Mungkin inilah yang dikatakan rezeki anak soleh.

Setelah pengenalan singkat itu terjadi mereka bertiga memutuskan untuk duduk di barisan belakang dengan alasan menghindari drama dari berbagai anak yang sok patuh. Setelah kedatangan presiden kampus, mereka kompak terdiam lalu terfokus pada langkah kaki dari pria yang terkenal akan kedinginannya itu.

"Dia Naufal, pembimbing kita." kata Camberli

Vacha mengangguk seolah-olah ia baru mengetahui hal itu.

❄❄❄

Naufal mulai menaiki panggung yang sudah dihias sedemikian rupa itu. Berdiri di hadapan mahasiswa baru dengan gaya yang cukup gantel tanpa ada rasa kaku sama sekali. Wajar saja, toh, bukannya dia sudah sering di hukum di depan tiang bendera, menghormati sang saka merah putih pada hari-hari yang jelas bukan waktunya upacara.

Inesperado | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang