[ 2 ]

274 85 50
                                    

WARNING!
Cerita ini mengandung kekerasan dalam keluarga

****

Membenci rumahnya adalah alasan klasik bagi gadis itu, tetapi mau atau tidak mau ia tetap harus pulang walaupun dengan keadaan terlambat. Jam menunjukkan angka enam sore sehingga kejadian yang tidak membuatnya terkejut lagi pun terjadi.

Plak!

Seperti makanan sehari-hari baginya, tamparan.

"Dari mana aja kamu?! Pulang jam segini, siapa yang kasih ijin?!" Bentak ibu tirinya yang bernama Fakhra.

"Banyak yang perlu diberesin! Sengaja kan kamu pulang telat?" Gadis itu hanya menatap ibunya tanpa ekspresi.

"Cepetan!" Tanpa berkata-kata ia segera pergi menuju kamar untuk mengganti baju lalu melakukan pekerjaan rumah.

Sayangnya gadis secantik Lisha diperlakukan seperti pembantu di rumah ini. Ia sendiri sudah malas karena tidak pernah diberi kasih sayang oleh Fakhra, pada akhirnya ia pun hanya bisa menuruti apa yang disuruh.

Bagaimana dengan ayahnya?

Andra atau ayah kandung Lisha, belum pernah kembali saat gadis itu masih duduk di bangku kelas 4 SD dan hanya mengerti bahwa beliau sedang bekerja keras di luar sana. Selama ayahnya tidak dirumah, ibu tirinya selalu duduk manis dan memperlakukan ia dengan tidak baik.

"Lisha!" Teriak ibu gadis itu didepan kamarnya, Lisha yang terpanggil segera membuka pintu kamarnya setelah mengganti pakaian.

"Kenapa warnanya jadi ilang gini?" Ujar Fakhra lalu melempar baju itu ke arah anaknya.

"Maaf ma—" Belum sempat ia melanjutkan perkataannya, Fakhra sudah pergi dengan wajah penuh amarah.

"Turun!" Seru ibunya yang sudah membawa tongkat kecil.

"Duduk, mana tanganmu?!" Lisha yang sudah duduk bersimpuh dilantai tahu apa yang dilakukan oleh ibunya.

TAK! TAK! TAK!

Gadis itu meringis kesakitan ketika telapak tangannya dipukul keras oleh tongkat milik Fakhra. Luka yang belum pulih pun semakin terasa sakit, sungguh ia benar-benar membenci dan ingin mengutuk semua ini. Bagaimana tidak? Seperti halnya sebuah dongeng menceritakan tentang Cinderella yang dijadikan pembantu oleh ibu tirinya, tersiksa, muak, dan ingin lepas dari semua masalah.

Selang beberapa menit, Fakhra berhenti dan kembali menyuruh Lisha untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Gadis itu hanya bisa menahan tangis dan mengingat ayahnya yang entah dimana sekarang.

Ayah, apa aku harus hidup seperti ini terus? Lisha ngga bakal kuat, yah.

Lirih Lisha dalam hati sembari mencuci baju dengan kondisi tangan yang benar-benar perih.

***

Hari berganti dengan cepat, Lisha kembali berangkat ke sekolah tanpa ada salam dan ucapan kasih sayang dari ibunya. Kondisi telapak tangannya semakin parah karena pukulan semalam, bahkan memegang sendok saja tangannya sudah bergetar. Melihat itu, ia harus sangat berhati-hati untuk memegang barang apapun.

"Sha, tangan lo kenapa?" Seru Raina yang entah kapan sudah duduk di sebelah Lisha. Merasa tangannya terlihat oleh orang lain, Lisha segera menutup luka tangannya itu.

"Ngga papa." Ujar nya singkat.

"Ih gue beneran tanya nih." Hampir saja Raina memegang tangannya, tetapi niatnya terhentikan.

"Bisa lo ngga maksa?" Mendengar pertanyaan pedas dari teman sebangkunya, akhirnya Raina memilih untuk diam.

Lisha meninggalkan Raina sendiri ketika waktu istirahat dimulai, ia memang tidak peduli dengan siapapun untuk saat ini. Gadis itu hanya butuh ruang sendiri untuk menikmati sepi yang menemaninya setiap hari.

OasisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang