Hubungan saya dengan mamah masih sama. Seperti orang asing tinggal dalam satu atap. Susah payah saya mencairkan suasana, mengajak komunikasi, tapi hasilnya nol besar. Pergi Subuh pulang Isya. Kerja apa dia? Dasar gila dunia!
Satu tahun setelah kepergian dua orang itu, saya mencoba bertahan meski rasa sakit semakin mengaga setiap harinya. Saya lupa hari. Kuliah berantakan, hidup seperti anak jalanan. Sampai ada satu hari spesial di tahun 2018 tiba-tiba dunia saya terang benderang.
Hari ulang tahun ke-19, hari yang paling bahagia. Di kelam malam tepat pukul 00:00 mamah membawa kue ke kamar. Saya sudah tidur, tapi terbangun karena bisikan lembut mamah. Jelas saja saya terperenjat dengan semua ini. Ini adalah pertama kalinya mamah membisikkan happy brithday, sayang.
"Mamah." Saya menganga tidak percaya. Ini mimpi atau ilusi?
"Kenapa sayang? Kamu tidak suka mamah rayakan ulang tahunmu?"
Semua apa yang saya benci dari diri mamah seolah lenyap. Tergantikan oleh kebahagian membuncah dalam dada. Tidak pernah terbayang jika mamah masih ingat hari lahirnya saya ke dunia.
"Kamu tidak mimpi, sayang," kata mamah seolah tahu saya menganggap ini mimpi.
Kepergian papah dan Bunga menggelapkan semuanya. Dan malam ini, saya baru menemukan setitik cahaya lagi. Setelah satu tahun lamanya. Terimakasih, Tuhan.
Sampai pukul tiga pagi, kami habiskan waktu berdua. Tiada detik yang kosong di malam itu. Kami memecah malam dengan tawa, obrolan, juga pelukan. Sampai ketiduran di sofa.
Saya kira kebahagian itu akan selamanya. Dua hari setelahnya mamah menorehkan kecewa. Luka kepergian yang masih ada, kini ditambah dengan kenyataan pahit tentang mamah. Marah, benci, juga kesal bercampur ketika melihat kamera sudah memenuhi halaman rumah. Tidak lagi yang dipikirkan selain kekecewaan. Saya hancur. Langkah ini pergi berlari mencari Bunga. Ya, hanya perempuan itu yang saya harapkan. Saya mengharap kebaikan-Mu, Tuhan. Tolong kembali Bunga kepada saya, saya sedang membutuhkan untuk menjadikannya sandaran.
"Tommy benci sama mamah!" Kalimat terakhir yang saya ucapkan sebelum berlari menerjang wartawan.
Sejak itu saya tidak lagi melihat langit biru. Saya terpuruk dalam kelabu. Yang dirasa hanya pilu. Dunia benar-benar hancur, saya terhimpit langit dan bumi.
Langkah kaki yang tidak tahu arah terhenti di depan kampus. Saya tinggal di sana. Tidur di kelas, mandi di toilet, dan sarapan di kantin. Empat hari saya tidak keluar dari wilayah kampus. Niat yang tertancap sudah bulat, saya tidak akan kembali ke rumah. Saya terlanjur kecewa dengan semua ini. Hari kelima baru keluar, karena teringat harus mengajar di tempat bimbel, yang jaraknya sekitar empat kilo meter dari kampus.
Selain mahasiswa, saya menjadi pengajar sejak empat bulan yang lalu. Niatnya hanya mencari kesibukan, untuk melupakan bayang-bayang papah dan Bunga. Namun nyatanya, sesibuk apa pun, tetap saja kedua orang itu masih bisa melintas dalam otak. Hanya sekadar menggoreskan belati dalam hati.
Susah memang menjadi pengajar mempunyai wajah bersinar di mata kaum Hawa. Terlebih mengajar di tingkat 12. Faktor umur juga memengaruhi. Karena selisih dua dan tiga tahun dengan saya, jadinya mereka melunjak. Saya marahi, mereka anggap hanya candaan.
Setiap hari saya mendapat surat cinta, ada juga yang berani mengatakan cinta langsung. Sayangnya saya abaika semua, tidak peduli dengan sakit hati yang mereka rasakan. Siapa suruh mempunyai harapan lebih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya dari Muslimah #ODOCTheWWG [SELESAI✔]
Spiritual"Muslimah hight class mana mau diajak pacaran, Ga." Saya mengembuskan napas gusar, lalu mengusap wajah dengan kasar. "Sekalinya langsung khitbah, dia mana mau sama saya." Gadis itu laksana Aisyah yang cerdas juga cantik. Lembut tutur katanya bagaika...