Perbaiki salatmu, maka Allah akan perbaiki hidupmu.
Kalimat itu adalah cambuk bagi saya. Belakangan ini saya gencar untuk memperbaiki salat. Kurang lebih empat hari saya memahami bacaan salat, karena bagaimana mau khusyuk salat jika apa yang diucapkan saat salat tidak tahu artinya.
Langkah selanjutnya saya harus harus seperti Abu Bakar, di mana ketika takbir diucapkan, tangannya diangkat, hatinya merasa takut. Abu Bakar takut ketika melafadzkan "Allah Maha Besar" sedangkan tanpa disadari dia lebih besar dari Allah. Saya harus seperti itu. Harus!
Saya melatih hati untuk seperti itu, berusaha merendahkan hati serendah-rendahnya di hadapan Allah. Saya kira, saya telah berhasil. Saya sudah merasa takut seperti Abu Bakar yang ketakutan ketika takbir, saya menangis kala menghayati surah Al-Fatihah, bahkan saya merasa dekat dengan Allah saat kening ini bertemu bumi. Namun, hanya satu kali salat saya merasakan hal seperti itu. Saat salat magrib saya merasa bahwa saya telah khusyuk dalam salat karena telah berurai air mata, tapi saat salat isya tidak ada lagi rasa itu, bahkan air mata saya enggan untuk keluar. Kenapa saya hanya merasakan itu sekali?
Malam itu, setelah mengaji, saya kembali ke kamar dan membaca buku milik Yusuf tentang salat para Nabi. Saya harus banyak belajar lagi tentang salat, karena salat adalah cerminan kehidupan. Jika baik orangnya, tentu baik juga salatnya, pun sebaliknya. Jika melihat orang lain baik dalam salatnya tapi kacau hidupnya, maka salatnya harus dipertanyakan.
Saya membaca buku itu sampai ketiduran di kursi belajar. Bangun-bangun ketika saya merasakan dingin yang memeluk. Jam tangan memberitahukan bahwa waktu sudah pukul satu, sebaiknya saya ke masjid daripada lanjut tidur ujung-ujungnya telat menghidupkan sepertiga malam.
Diawali salat taubat, memohon ampun atas segala dosa yang telah saya perbuat. Secara spontan, bibir ini mengucapkan doa untuk kedua orang tua. Bayangan Mamah muncul begitu saja dalam pikiran. Saya merasa hati ini remuk, ditampar keras, begitu durhakanya saya kepada orang tua.
Saya larut dalam tangis. Bahkan saya tidak tahu kabarnya sejak memilih keluar dari rumah dua tahun yang lalu.
"Maah ...." Bibir saya bergetar kala melontarkan kata itu dalam doa. Saya tak kuasa menahan gejolak sakit di hati. Saya telah durhaka.
Bahkan sekarang saja, saya tidak tahu keberadaannya di mana. Saya benar-benar menyesal, saya mengadukan semuanya kepada Allah, saya marah-marah memaki diri sendiri yang gila ini.
Tangis reda ketika beberapa dewan dan santri mulai memasuki masjid satu per satu. Saya hanya mampu menundukkan kepala dengan isak tangis masih ada di shaf pertama.
Saya larut dalam rasa bersalah, hingga akhirnya saya sadar ketika adzan terkumandang. Saya bergegas untuk wudhu lagi, saat kembali lagi, tempat tadi diambil alih orang lain. Saya duduk di shaf kedua. Ketika iqomah dilafadzkan, seluruhnya berdiri untuk bersiap menghadap-Nya. Saya kira Imamnya Ustadz Malik karena dia telah bersiap di shaf pertama belakang tempat imam, tapi ternyata beliau mendorong seorang santri untuk ke tempat imam. Santri itu sempat ingin kembali ke tempat semuka, tapi Ustadz Malik sepertinya menatap tajam santri itu supaya tidak boleh menolak.
Muhammad Fauzan Ar-Rahman Yamin, santri berprestasi yang menjadi juara umum dua tahun berturut-turut. Saya tahu ilmu agama dia sudah bercabang, santri kesayangan para dewan, pantas-pantas saja ditunjuk jadi imam. Saya kok jadi iri.
Usia dia di bawah saya, tapi sudah ditunjuk jadi imam. Sedangkan saya? Usia sudah 21 tahun tapi belum pernah jadi imam.
🍃🍃🍃🍃
Saya menejelajah internet untuk mencari info tentang Mamah. Beritanya tersebar luas dan sempat viral dua tahun yang lalu. Ternyata Mamah menjadi sorotan publik saat itu. Wajar saja, seorang dewan perwakilan rakyat ketahuan korupsi. Saya kecewa dengan apa yang Mamah lakukan.
Saya tidak ingin punya orang tua seorang narapidana, rasa benci itu belum sempurna hilang meski sudah ada niat untuk memaafkan Mamah. Dua tahun lamanya saya dan Mamah tidak bertemu, bahkan menyapanya lewat doa saja tidak pernah. Mamah seorang diri berjuang dan bertahan di dunia ini untuk hidup. Harusnya saya setia menemani, menenangkan, dan memeluk erat supaya tidak terpuruk. Namun, saya melakukan hal yang membuat Mamah semakin terpuruk.
"Mah ... maafin Tommy yang udah durhaka."
Saya berjalan keluar gerbang pesantren, mobil Sega sudah menunggu di pinggir jalan. Saya segera masuk sambil menahan diri untuk tidak menangis.
"Pas lo sakit, gue ke pesantren mau ngasih tahu sesuatu. Tapi lo nggak bisa dibangunin. Gue udah mohon-mohon sama orang itu, tapi nggak diizin karena gue orang luar katanya. Terus gue janji besoknya mau ketemu lo lagi, tapi gue lupa. Baru keinget lagi sekarang, sumpah." Sega mengangkat kedua tangan yang dibentuk huruf V.
"Sesuatu apa?"
Sega melirik saya sebentar, kemudian mengotak-atik ponselnya. "Banyak media yang meliput nyokap lo, beberapa minggu yang lalu dia jatuh sakit. Dia depresi sampai-sampai pingsan di dalam sel. Nyokap lo meminta maaf sama lo secara terang-terangan, dan permintaan maaf itu sempat viral, lo dibully netijen dan dikatain anak durhaka. Untungnya nyokap lo nggak ngatain nama lo. Jadi aman." Dia memberikan ponselnya pada saya, sebuah video terputar.
Setelah pembawa acara berita itu bercakap sebentar kemudian muncullah sosok Mamah yang bertubuh kurus, berambut sedikit acak-acakan dan tipis. Dada saya berdesir, saya telah durhaka padanya.
Mamah meminta maaf kepada saya. Derai air mata sampai turun ke bumi pertanda tulusnya pemintaan maafnya. Saya semakin berdosa.
"Atas ini, saya meminta maaf yang sebesar-besarnya telah mengecewakan anak saya satu-satunya. Nak, di mana pun kamu berada, bagaimana pun keadaannya, Mamah mohon temui Mamah di sini. Mamah sudah tidak kuat menjalani hidup dengan kesendirian. Mamah ingin bertemu kamu, meski hanya satu kali saja. Mamah ingin tahu keadaanmu, sehatkah? Bahagikah? Atau sebaliknya. Mamah ingin tahu, Nak. Maafkan Mamah yang telah mengecewakanmu dan Papahmu, maafkan Mamah, Nak!" kata Mamah di video itu sambil terisak-isak.
Mamah pasti kecewa dengan sikap saya. Namun, kecewanya itu tidak dijadikan alasan untuk balas dendam. Mamah menjaga nama baikku, dia tidak menyerukan namaku dalam ucapannya. Padahal, Mamah bisa saja mengatakan, "Tommy, anak saya telah durhaka pada ibunya sendiri." Namun, Mamah tidak melakukan hal tersebut.
"Pas gue lihat berita itu, gue langsung sakit hati, anjir. Gue rasa, lo udah keterlaluan sama nyokap lo. Gue punya syarat, gue bakal anterin lo tapi harus janji bakal minta maaf dan bersujud di kakinha saat bertemu sama nyokap lo."
Tanpa dipikir-pikir lagi, saya menyetujuinya. Lagipula, saya akan melakukan itu sebagai penyesalan saya, bukan syarat dari Sega.
"Udah, jangan nangis, ah! Cengeng lo!" Dia menepuk sebelah bahu saya, lalu melempar tisu yang ada di dashboard ke wajah saya.
Sialan punya teman!
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya dari Muslimah #ODOCTheWWG [SELESAI✔]
Spiritual"Muslimah hight class mana mau diajak pacaran, Ga." Saya mengembuskan napas gusar, lalu mengusap wajah dengan kasar. "Sekalinya langsung khitbah, dia mana mau sama saya." Gadis itu laksana Aisyah yang cerdas juga cantik. Lembut tutur katanya bagaika...