"Dua minggu yang lalu kami kehilangan Bu Diana, guru matematika santriwati. Beliau meninggal karena sebuah kecelakaan bus. Sekarang guru matematika di sana tinggal dua, Bu Ninda dan Bu Hafshah. Lima belas kelas mereka pegang berdua, membuat kewalahan, tapi kami belum mencari guru pengganti."
Saya menyimak baik-baik Ustadz Haris. Dalam hati berharap dia diterima menjadi guru. Meski tahu penghasilannya kecil, setidaknya saya dapat menyambung hidup dari hasil itu.
"Sebenarnya Ustadz sedikit bimbang dengan keputusan ini. Selama aliyah santriwati berdiri, kami mengutus guru perempuan saja yang mengajar. Tapi karena kondisinya seperti ini, kami sepakat jika antum mengajar di aliyah santriwati untuk sementara waktu. Jika kami sudah menemukan guru pengganti, antum akan dipindahkan untuk mengajar di aliyah santriwan."
Alhamdulillah. Ketenangan menyelimuti, tidak saya kira akan diterima menjadi guru. Dengan iringan basmallah, saya tersenyum senang menghadap Ustadz Haris yang merupakan anak pertama pemilik yayasan sekaligus kepala sekolah madrasah aliyah.
"Syukron, Ustadz."
Kepalanya mengangguk, senyumnya cerah. "Antum satu-satunya laki-laki yang mengajar di aliyah, tolong pegang amanat ini. Profesionallah sebagaimana profesial seorang guru. Jangan sekali-kali membuat ulah. Besok sudah mulai mengajar."
Sesuai menghadap Ustadz Haris, saya menelusuri jalan dengan lebar 1 m merupakan jalan penghubung MA ke asrama. Saya akan berusaha keras menabung, kerja apa pun akan dikerjakan asalkan halal. Semoga hasil tabungan bisa untuk melanjutkan kuliah saya yang terhenti.
Sega harus tahu.
Bagi anak kuliahan, keluar-masuk pondok memang gampang. Beda halnya dengan pelajar, yang diizinkan keluar saat ada kepentingan saja. Setelah melihat jam di perjelangan tangan, saya segera menaiki bus yang menuju komplek perumahan sahabat tercinta.
"Wow, bagus dong." Sega menepuk punggung setelah saya menceritakan diterima menjadi guru. "Sobat gue udah mandiri!" Dia menepuk dua kali lagi punggung saya lalu menjatuhkan diri di sofa.
"Saya sudah lama mandiri, Ga."
"Eh, iya kah? Gue baru sadar sekarang." Sega tertawa renyah sambil mengunyah kue yang tersedia di meja. Pasti sebelum saya datang, laki-laki itu sedang malas-malasan dengan game ditemani makanan.
"Ga, dengan ngajar di wilayah santriwati, apa saya akan bertemu Bunga?" Tiba-tiba saya menjadi melow, suara rendah seolah kurang tenaga.
"Enggaklah." Sega membuka aplikasi game online di ponsel cerdasnya, kemudian fokus sesaat. "Lo kan ngajar di madrasahnya, sedangkan Bunga tinggal di asramanya. Kan beda ...." Dia kembali fokus, membuat saya ingin merebut ponsel itu. "Kecuali lo nerobos masuk ke asrama putri. Pasti ketemu." Kekehannya terdengar dengan mata masih fokus ke ponsel.
Benar juga.
"Doain, ya! Semoga ketemu lagi dengan Bunga."
"Kalau ketemu, langsung foto, ya! Pasti muka Bunga udah penuh sama jerawat," kata Sega asal yang dibalas lemparan bantal kursi.
"Dia cantik! Sayangnya di kawasan pesantren nggak boleh pegang hp."
"Iyain."
Jika Sega sudah berkata pelit, saya tahu dia tidak ingin diganggu. Saya juga harus mengajar ngaji Silvia, gadis berponi murid bimbel saya. Ini pertama kalinya saya mengajar hal baru. Jika matematika, saya memang jagonya, tapi mengaji? Saya juga masih belajar. "Saya pergi dulu, Ga."
<<>>
Wallahi. Takdir benar-benar lucu. Kenapa permainan takdir-Mu benar-benar sulit dimengerti logika? Apa sebenarnya yang Engkau rencakan Ya Rabb?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya dari Muslimah #ODOCTheWWG [SELESAI✔]
Spiritual"Muslimah hight class mana mau diajak pacaran, Ga." Saya mengembuskan napas gusar, lalu mengusap wajah dengan kasar. "Sekalinya langsung khitbah, dia mana mau sama saya." Gadis itu laksana Aisyah yang cerdas juga cantik. Lembut tutur katanya bagaika...