Kenapa takdir selucu ini?
Kenapa saya kembali dipertemukan dengan dia di saat saya sudah tidak berharap dia kembali. Luka yang sudah tertutup rapat kini terbuka lagi. Karena pertemuan sore kemarin menggoreskan sesuatu ke hati saya.
Lebih baik tidak bertemu lagi dengannya daripada kehadirannya mengusik hati yang sudah tentram.
Dia yang meninggalkan saya tanpa sebab, lalu saat kami dipertemukan kembali, kenapa dia menatap saya dengan benci? Harusnya saya yang demikian, menatapnya dengan benci dan menuntut penjelasan tentang kepergian dia.
Bahkan untuk menatap saya saja, sepertinya tidak mau. Kepalanya terus tunduk dengan isak tiada henti. Saya salah apa? Bukannya sehari sebelum dia pergi, kami masih tertawa di kolong langit biru.
Berontakkan itu, seolah tidak mau saya sentuh. Sebenci itukah kamu sama saya, Bunga?
Tunggu, ada yang ganjal dengan semua ini. Apakah benar itu Bunga? Kenapa dia ada di rumah Uma? Kenapa Uma memeluk dia dengan tulus saat menangis?
Apa benar dia Bunga?
"Ini hanya ilusi." Saya meyakinkan itu ilusi, atau mungkin gadis tadi hanya mirip dengan Bunga.
Tapi wajahnya persis! Bibir tipis dengan warna pucat, hidung mungilnya, mata bulat yang teduh, dan pipi tembem. Semua itu gambaran tentang Bunga. Apa yang saya ragukan lagi. Dia pasti Bunga.
Kenapa dia ada di pondok ini? Juga, kenapa dia sedekat itu dengan Uma?
"Suf, Kyai Gufran punya anak perempuan, tidak?" tanya saya kepada Yusuf di lorong asrama. Kami baru saja selesai mengaji, kebetulan bertemu dia di selasar masjid saat mencari sandal.
"Tidak. Dua anak Kyai Gufran laki-laki. Yang satu tinggal di Kairo mengejar S2, yang satu di Pesantren Gontor 1," jawabnya menambah keyakinan saya dalam hati bahwa gadis kemarin itu Bunga.
"Kyai Gufran tinggal sama siapa?" Siapa tahu ada sanak saudaranya yang perempuan. Dan perempuan itu mirip dengan Bunga. Semua hal bisa terjadi, kan? Allah Maha Kuasa.
"Berdua dengan Uma Salamah."
"Oh ... gitu." Kami melanjutkan langkah tanpa bicara lagi.
Bunga? Benarkah itu kamu? Saya rindu ....
Malam itu, saya tidak bisa tidur. Senyum Bunga menghiasi langit kamar sepanjang malam. Kenangan masa SMA terus terputar seakan tidak ada yang namanya ending. Meski tak nyata, tapi gadis itu menemani malam saya.
"Gantengmu cuma cover doang! Menipu orang itu dosa, Tommy." Gadis di sebelah saya menjauh, dia bergeser ke ujung kursi. "Mimpi apasih punya pacar jorok kayak kamu!"
"Jorok apanya?" Saya mengacungkan jari telunjuk kanan, membuat dia melemparkan buku paket fisika yang tebal ke wajah saya.
Dengan cepat saya menghindar, buku itu melesat melewati saya dan mendarat di lantai. Saya mencetak senyum, lalu mengacungkan telunjuk kanan ke depan wajahnya. "Jorok, ihhh!" Dia menutup wajah dengan kedua tangan, terlihat sekali ketakutannya. "Menjijikkan!" ujarnya lagi.
"Kenapa, sih? Ada apa dengan telunjuk saya? Kenapa kamu ketakutan?"
"Kamu jorok! Jijik tahuuuu! Itu telunjuk habis dipake ngupil belum dibersihin. Siapa yang nggak jijik coba." Dia bergidik ngeri.
Saya tidak bisa lagi menahan tawa. Padahal saya pura-pura mengupil saja, untuk menguji apakah dia merima saya apa adanya atau tidak.
"Cepet bersihin iiiiiih! Kalau enggak, kita putus!" ancamnya dengan penuh penekanan. Ketakutan berbalik pada saya. Berlari menuju kamar mandi, lalu mencucinya dengan sabun tujuh kali. Setelah kembali ke sampingnya, saya acungkan lagi jari telunjuk itu ke depan hidungnya. "Udah wangi, kan?"
"Hmm," balasnya singkat membuat hati menjadi keki.
Kami kembali lagi berkutat dengan buku. Tidak ada suara kecuali detak jam dan suara kertas dibuka. Saya terfokus pada soal hard di depan mata. Satu halaman penuh saya pakai untuk menghitung, tapi jawaban yang dihasilkan tidak ada di option. Saya kembali hitung dari awal, beberapa rumus saya masukkan, berharap jawaban kali ini ada.
Sial, soal sedang mempermainkan.
"Jawaban no. 14 kamu kok C? Aku hitung jawabannya 8 loh, lihat ini. Berarti D, dong." Bunga menunjukkan hasil hitungannya, tapi tidak saya tanggapi. Biarlah dia membeo sendiri.
Tangan saya lincah membuat halaman penuh dengan angka. Jika sudah fokus seperti ini, mata saya akan buta kecuali pada soal dan hitungan. Saya juga tidak dapat mendengar suara apa pun.
"Tommmmmy, iiiih! Tega banget sih nganggurin cewek cantik!" jeritnya membuat saya menutupi telinga.
Kembali fokus pada hitungan, sampai saya lupa dengan keberadaan orang lain di ruang ini. Itulah saya, jika sudah masuk dalam dunia angka, saya tidak sadar dengan sekitar.
"Yess! Yuhuuuu." Saya meloncat sambil meninju udara setelah menemukan jawaban tepat. Matematika memang seperti ini, menguji kesabaran juga pemikiran. Saat saya buntu dengan jawaban, ingin sekali menyerah. Tapi harus ingat, menyerah berarti kalah. Untuk mencapai kemenangan butuh perjuangan. Meski sulit sampai membuat otak panas, tapi lihat akhirnya. Dapat jawaban saja senangnya luar biasa. "Saya memang pintar," puji diri sendiri. Orang lain tidak tahu perjuangan saya, berarti tidak akan ada yang memuji.
Bunga?
Saya telah melupakan gadis itu.
"Eh, ke mana dia?" Mata saya menelusuri ruangan. Tidak mungkin dia pulang, karena tasnya masih di kursi. Bolpoin dan bukunya juga masih berserakan di meja. "Ck, ngilang mulu."
Saya beranjak untuk mencari di setiap ruang rumah saya. Lebih tepatnya rumah orang tua saya. Dari semua ruang yang ada di sini, saya menemukannya di ruang makan. Ketika saya berdiri di depan pintu, dia menusuk apel merah dengan pisau. Ekspresinya lucu sekali, cemberut sambil komat-kamit tidak jelas.
"Ngapain manyun gitu? Jelek tahu!"
"Bodo!" balas dia sambil menusuk apel lagi.
"Bagus, ya. Berasa rumah sendiri aja," sindir saya setelah menyandarkan punggung di tembok.
Dia tidak merespon. Mulutnya semakin komat-kamit, saya takut itu mantra sihir atau apa. Dan satu apel merah di atas piring itu sudah rusak dia tusuk-tusuk.
"Bunga ...."
Dia seolah tuli.
"Kamu marah? Kenapa?"
Lagi, tidak ada jawaban.
"Bunga! Kenapa kamu diam?!"
Pukulan saja ke meja serta bentakan itu sukses membuat dia tersentak kaget. Wajahnya dia angkat, menatap saya dengan tatapan ....
Ah, sulit diartikan.
"Pergi aja sana. Urus tuh angka-angka yang kamu cintai itu! Aku ikhlas selamanya jadi yang kedua di hidup kamu!"
Ingin sekali saya terbahak, tapi sadar suasana. Yang ada Bunga malah semakin marah. "Dasar, cemburuan," ejek saja sambil menampilkan seringai.
Allahu Akbar
Allahu AkbarSuara dari masjid itu memberitahukan jika waktu sudah menunjukkan pukul 2 malam. Membuat nostalgia saya terhwnti. Di pesantren ini sudah biasa adzan di waktu itu untuk membangunkan santri, lalu adzan lagi saat menjelang subuh. Terlalu larut dalam indahnya kenangan membuat saya lupa tidur. Meski mata ingin menutup, tapi tidak bisa. Saya harus segera ke kamar mandi supaya tidak lama antri. Kemudian melaksanakan tahajud sebelum pukul 3, jadi saya bisa tidur sekitar satu jam sebelum subuh.
Kamu selalu saja membuat saya lupa waktu, Bunga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya dari Muslimah #ODOCTheWWG [SELESAI✔]
Spiritual"Muslimah hight class mana mau diajak pacaran, Ga." Saya mengembuskan napas gusar, lalu mengusap wajah dengan kasar. "Sekalinya langsung khitbah, dia mana mau sama saya." Gadis itu laksana Aisyah yang cerdas juga cantik. Lembut tutur katanya bagaika...