Lima Belas [Kembali Membangun]

112 15 2
                                    

Sudah lama saya terpuruk atas hilangnya Bunga. Hingga pada akhirnya bayang-bayang Bunga tidak lagi menghantui sejak ada gadis itu. Tanpa disadari, dia masuk tanpa permisi menghangatkan hati.

Rara, Rara, kamu itu nakal banget, sih. Jika mau masuk, ketuk dulu dong.

Kacau. Pikiran saya terpenuhi gadis lucu itu. Astagfirullah, itu zina pikiran, Tommy! "Woy!" Saya tersentak, hampir saja terjengkang dari kursi. Sepertinya Sega punya hobi baru, yakni mengagetkan saya. Jika saja tidak ada hutang budi sama dia, mungkin kepalanya sudah saya ulek-ulek.

"Apasih, Ga?"

"Mau sampai kapan melamun?" tanyanya.

Kepada pemilik cinta, tolong kendalikan hati ini. Saya mengusap wajah kasar, lalu memasukkan beberapa kertas dan satu buku ke tas. Ingin kuceritakan semua tentang gadis itu pada Sega, tapi ada keraguaan saat mengeluarkan suara. Untuk apa Sega tahu tentang perasaan saya saat ini? Itu tidak penting, biarlah saya dan Raab saja yang tahu isi hati saya.

Kami berjalan beriringan menuju parkir, Sega mengantarkan saya dulu ke rumah Silvi untuk mengajarnya mengaji.

Jangan tanya lagi lelahnya seperti apa. Mengajar di madrasah, mengajar di bimbel, mengajari Silvi, dan kegiatan pesantren yang begitu padat. Rasanya otak ini sudah meletuk-letuk, tinggal menunggu detik melutusnya kapan. Belum lagi sekarang saya sudah mulai kuliah, semakin nambah pula kegiatan. Capeknya masyaAllah, semoga Allah selalu mengiringi dengan ridonya di setiap apa yang saya lakukan.

Rencananya nanti malam saya tidak ingin tidur. Pulang mengaji langsung mengerjakan tugas kuliah, mempersiapkan materi untuk mengajar besok, dan sisanya ingin menghafal alfiyah.

Saya ingin berbeda dari kebiasaan warga 62+ yang bisanya hanya malas-malasan dan mengeluh. Memang istirahat itu perlu, tapi saya pending dulu. Setidaknya sampai besok siang pulang kuliah.

"Thank's, Brother!" ucap saya seraya menepuk sebelah pundak Sega sebelum turun dari mobilnya.

Belum juga saya memencet bel rumah, seorang gadis sudah menyambut saya. Tunggu, ada yang aneh dari gadis di depannya. "Silvi?" tanya saya untuk meyakinkan. Dia mengangguk sambil memamerkan senyum. Hidayah itu benar-benar datang tanpa diduga. Silvi pakai hijab sekarang, meski rambutnya masih ada yang keluar, karena dia tidak memakai dalaman hijab.

"Ayo, Kak! Aku lagi semangat belajar ngajinya," ungkapnya girang hendak menarik tangan saya.

Saya mundur, tidak mau disentuh. Karena sudah paham dengan saya, akhirnya dia meminta maaf lalu mengajak masuk.

Saya diajak dulu ke ruang makan, diajak untuk makan bersama keluarganya. Untuk menghormatinya, tidak ada alasan bagi saya menolak tawaran itu. Tidak ada hal aneh dalam pikiran saya. Sedikit pun tidak. Setelah papahnya Silvi pergi dari lingkar meja itu, mamahnya Silvi mencuci piring. Saya hendak ke taman belakang rumah, tempat yang selalu dijadikan untuk saya mengajarinya mengaji. Namun, dia melontarkan tanya yang membuat saya langsung diam di tempat.

"Boleh nggak aku suka sama Kakak?"

Wallahi, apa-apaan ini?

"Suka dalam hal?" Saya pura-pura anak polos.

"Kak, entah kapan datangnya rasa ini. Bukannya cinta itu adalah fitrah? Cinta aku juga nggak salah kan, Kak. Karena aku cinta sama Kakak, aku jadi mau belajar ngaji, mau berhijab, mau hijrah."

Di akhir tingkat sekolahnya, anak remaja itu masih sempat memikirkan cinta. Bukan hanya perempuan saja yang bisa salah tingkah ketika ada lawan jenis yang mengungkapkan rasa, laki-laki juga sama, kan sama-sama punya perasaan.

"Jangan mencintai manusia sebelum kamu mencintai siapa pencipta manusia yang kamu cinta. Dan niatkan setiap melakukan apapun itu karena Allah." Saya ingin secepatnya pergi dari sini, buru-buru saya menyampar tas di ruang tamu untuk segera pergi. Silvi mengikuti saya dari belakang, dia hendak bicara, tapi saya segera angkat suara. "Saya akan meminta tolong kepada salah satu dewan di pesantren untuk mengajarimu. Mulai besok, ngajinya sama beliau."

"Tapi, Kak--"

"Maafkan saya, Silvi. Maaf jika selama saya mengajari kamu banyak salah atau ada kata-kata yang kurang berkenan. Saya pamit, assalamuaikum."

Saya tidak mendengarnya menjawab salam, langkah ini panjang dan cepat untuk segera menjauh dari rumah keluarga Silvi. Kenapa harus seperti ini?

Saya tidak habis pikir dengan pemikiran anak itu. Bisa-bisanya dia menyukai saya.

Apa yang gadis itu sukai dari saya? Jika ketampanan yang saya miliki, tidakkah dia berpikir bahwa tampan bisa ditelan usia. Sepanjang perjalanan terus merenung, banyak akhwat yang memuja fisik saya, ini ujian karena pujian sepertinya. Banyak juga akhwat yang mengagumi karena saya seorang santri, padahal tidak tahu saja jika ilmu agama yang saya miliki tidaklah setara dengan pakaian.

Saya tiba di gerbang pesantren, satpam langsung membuka gerbang seraya menyapa. "Tumben pulang jam segini, Gus?" tanya Pak Supri

"Iya, alhamdulillah. Jadi ada waktu buat istirahat dulu sebelum ngaji."

Perbincangan singkat itu berakhir, saya segera ke kamar. Wajah Silvi sulit saya usir dari pikiran, padahal tidak ada rasa suka sama sekali. Tanpa mandi terlebih dahulu, saya melemparkan tubuh ke tempat tidur, beberapa menit kemudian sudah masuk ke dalam mimpi.

Rara.

Gadis itu muncul dalam mimpi saya. Saya sadar jika ini mimpi, tapi mata tak kunjung aku buka untuk menghentikan mimpi.

Gadis cengeng itu menghadap ke hamparan danau. Dari belakangnya saya membawa minuman kaleng yang dingin. Isengnya saya, kaleng itu ditempelkan ke pipinya hingga membuat dia berbalik ke arah saya. Pandangan kami bertemu, dia tersenyum. Saya duduk di sampingnya, dia menjatuhkan kepala ke bahu saya. Kenikmatan sore di tepi danau itu sangat indah. Lama sekali kami berada di dalam posisi itu, sampai akhirnya saya sadar. "Astagfirullah! Bukan mahram!"

Mata sayalangsung terbuka, bibir segera melahirkan istigfar seraya mengusap wajah. Kenapa Rara muncul di mimpi saya?

Cahaya dari Muslimah #ODOCTheWWG [SELESAI✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang