Jangan heran karena satu ayat saya bisa masuk pesantren. Semua hal tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Bahkan banyak orang di luar sana memeluk Islam karena satu ayat. Itulah tanda kekuasaan Allah bagi orang yang berpikir.
Laki-laki yang dulu menghampiri saya di taman itu namanya Yusuf. Laki-laki yang telah membukakan pintu cahaya. Juga, laki-laki yang telah menuntun langkah ini masuk pesantren. Dengan pesantren ini, saya dibimbing untuk berjalan di jalan Allah.
Sembilan bulan yang lalu, saya yakin dengan niat untuk hijrah. Berharap niat ini dapat mencerahkan hidup yang gelap.
Dan ternyata benar. Harapan saya terwujud. Di sini, di tempat ini, di Pesantren Ali Imran saya mendapatkan ketenangan. Semua kejengkelan, kegundahan, kekecewaan, juga kebencian lenyap dari hati ini. Terimakasih Allah.
Pulang dari kampus, saya langsung ke pesantren karena tidak ada lagi kegiatan di luar. Jadwal mengajar bimbel saya dua hari dalam seminggu, Selasa dan Kamis. Dan sekarang masih hari Rabu. Langkah santai menapaki selasar asrama lantai dua. Suasananya masih sepi, para pelajar masih di sekolah mengingat ini baru pukul satu.
Saya menghentikan langkah dan memilih untuk melihat bangunan pesantren. Kedua sikut saya ditumpukan pada pembatas selasar. Tiada henti rasa syukur ini terucap dalam hati. Lewat Yusuf, saya masuk pondok ini, lalu menata masa depan dengan baik.
Dari selasar bangunan sebelah kiri, terlihat seorang Kyai jalan buru-buru. Beliau melambaikan tangan sepertinya kepada saya. Karena di sini tidak ada orang lagi selain saya.
"Kyai memanggil saya?" tanya saya setelah mengucap salam dan mencium punggung tangan yang dilingkari tasbih.
Kyai Gufran mengangguk. "Untuk kajian nanti malam kita mengaji kitab. Namun, kitabnya belum di ambil di rumah Kyai. Boleh Kyai minta tolong ambilkan? Biar nanti setelah pulang dari undangan dakwah bisa langsung ke masjid."
"Boleh, Kyai." Saya tersenyum kemudian berlalu setelah mencium tangannya lagi.
Saya melangkah bukan ke rumah Kyai Gufran, tapi ke kamar di lantai tiga. Mengajinya nanti malam, kan. Bada Ashar nanti saya ambil kitabnya.
Sebenarnya tinggal di pesantren ini ada suka dan dukanya. Di sini kita bisa menghabiskan waktu bersama teman, bercanda dengan topik sederhana, saling menasihati saat kita lalai, dan berbagi dalam hal apa pun. Untuk dukanya, kegiatan pesantren cukup padat. Kadang saya tidak bisa membagi waktu antara kuliah dan jadwal di pondok.
Beberapa jam kemudian, saya dibangunkan oleh salah satu teman sekamar untuk mengaji Ashar. Sebenarnya bagi mahasiswa hanya diwajibkan mengaji waktu malam dan Subuh saja. Namun, jika waktu Ashar ada waktu untuk mengikuti kajian, kenapa tidak menghadiri?
Saya bersiap mengganti pakaian tadi dengan koko, sarung, dan tidak lupa peci di kepala. Jadwal mengaji kali ini adalah tahsin. Ada sedikit sesal dalam hati telah menghadiri kajian. Jujur, saya sedikit tidak suka dengan jadwal materi tahsin. Setiap kali ditunjuk membaca Al-Quran, ada saja kesalahannya. Yusuf pernah mengatakan kepada saya. "Namanya juga belajar. Wajar jika salah."
Belajar sih belajar, tapi tidak harus selalu salah. Lebih baik saya menyelesaikan ribuan soal matematika daripada belajar tahsin.
Astagfirullah!
Saya hampir saja melupakan amanat Kyai Gufran. Saya pergi dari masjid itu bukan untuk menghindari materi yang tidak disuka, melainkan untuk menjalankan amanat. Setelah pamit kepada Ustadz Hadi, saya melangkahkan kaki lebar-lebar menuju rumah Kyai.
Rumah pengurus pondok memang harus di kawasan pesantren. Kadang kala rumah itu dijadikan tempat kajian supaya santri tidak melulu mengaji di masjid. Biar ada suasana yang berbeda saat mengaji berpindah tempat.
Rumahnya ada di komplek asrama putri. Dan jaraknya dari asrama putra sekitar seratus meter. Saya harus berjalan dari masjid ke gerbang belakang, lalu menelusuri jalan setapak menuju asrama putri. Saya tidak bisa lewat gerbang depan asrama putri, bisa-bisa dihukum karena menerobos ke sana.
Sesampainya di halaman rumah Kyai Gufran, saya melihat sosok perempuan berhijab polos hijau tua duduk membelakangi. Mungkin putri dari Uma Salamah dan Kyai Gufran.
"Awwalan: tarbiyatul islami fi Indunisiya, qad yataghayyaru bi taqlidi ghairu islami fi bina-in ‘ala qur’an wal hadist."
"Assalamuaikum." Salam saya menghentikan ucapan dia sampai membuat dia berjengit.
"Wa-walaikumussalam. Antum siapa?"
Dia bertanya tanpa membalikkan badan menghadap saya. Tidak sopan.
"Saya santriwan yang diperintahkan Kyai Gufran untuk mengambil kitab."
Saya mematung di depan teras dengan kebingungan. Antara menginjak teras atau jangan. Gadis itu bersikap dingin saja, seolah kehadiran saya tidak dianggap lagi. Minimal dia menawarkan diri untuk memanggil Uma, supaya saya tidak bingung seperti ini.
Lama saya mengamati punggung dia. Tangannya menari di atas kitab kuning, sesekali dia berucap memakai bahasa Arab yang tidak saya ketahui artinya.
"Eumm ... boleh minta tolong panggilkan Uma?"
Kepalanya mengangguk. "Baik, tunggu sebentar."
Dia beranjak, sepertinya akan masuk ke dalam rumah. Saya tersenyum, di balik cueknya dia ada kebaikan sampai mau menuruti perintah saya.
Detik saya melihat wajahnya dari samping, hati saya bergemuruh hebat. Bagaimana bisa ini terjadi? Dia ....
"Nggak mungkin," gumam saya tidak percaya. Persendian saya mulai tidak berfungsi, tulang saya mendadak menjadi lunak. Rasanya seperti dijatuhkan dari ketinggian ribuan kaki.
Sebelum dia melewati batas pintu, saya melangkah panjang dan mencekal pergelangan tangannya. Terkesan langcang, tapi itu refleks. Saya menyentuh jari tangan putih itu, membuat dia berbalik dan telonjak kaget. Hanya satu detik, pandang kami bertemu. Benar, dia yang orang yang saya tunggu. "Bunga," ucap saya lirih. Antara percaya dan tidak.
"Lepas!" Dia berontak sekuat tenaga, tapi tidak saya lepaskan. Saya tidak akan membiarkanmu pergi lagi. "Umaaaaa," teriaknya memanggil puan rumah sambil tidak berhenti memberontak. Malah sekarang lebih lincah, sampai kaki saya dia injak-injak.
"Bunga, saya Tommy. Kamu lupa?" Bukan jawaban yang saya dengar. Namun, isak tangis dengan jatuhnya air mata ke punggung tangan membuat saya terheran. "Kamu kenapa?"
Dia menginjak kaki saya dengan keras. Membuat tangannya lepas dari cekalan saya. Sorot kebencian dapat saya tangkap, ditambah tamparan tak terduga membuat saya heran. "Kenapa Bunga? Apa yang terjadi?"
"Astagfirullah, ada apa ini? Ra, kenapa menangis?" Sosok wanita berkepala lima dengan hijab menjulur itu menghampiri dan langsung merengkuh Bunga. Beliau mengelus kepala gadis itu dengan tatapan mengarah ke saya. "Kamu siapa?"
Suara saya tercekat, perlu beberapa detik untuk menjawab pertanyaan itu. Saya masih syok dengan kehadiran Bunga. "Saya diperintah Kyai Gufran untuk mengambil kitab. Agar nanti beliau langsung mengajar sepulang dari dakwahnya."
Saya terfokus kepada gadis yang masih menangis dalam pelukan Uma. Gadis yang saya rindukan selama dua tahun ini.
Rindu?
Bukannya satu tahun yang lalu saya sudah menyerah untuk tidak mengharapkan dia lagi?
Tapi jujur, bibir saya mengatakan benci karena kepergiannya, tapi hati saya mengatakan rindu dan berharap dipertemukan kembali.
Saya senang bertemu lagi dengannya. Namun, kenapa dia berbeda? Kenapa dia yang seolah benci kepada saya? Apa salah saya?
Pandangan saya kosong, sampai tidak sadar kedua sosok di hadapan saya telah pergi. Ke mana mereka?
Saya tidak tahu apa yang Engkau rencanakan. Allah, kenapa Engkau terus-terusan mempermainkan takdir saya? Kenapa alur kehidupan saya seperti ini? Setelah kami Engkau jauhkan, kenapa sekarang kembali mempertemukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya dari Muslimah #ODOCTheWWG [SELESAI✔]
Spiritual"Muslimah hight class mana mau diajak pacaran, Ga." Saya mengembuskan napas gusar, lalu mengusap wajah dengan kasar. "Sekalinya langsung khitbah, dia mana mau sama saya." Gadis itu laksana Aisyah yang cerdas juga cantik. Lembut tutur katanya bagaika...